Menakar Respons Publik Soal Ramai Statement Jokowi Cawe-Cawe di Pemilu 2024, Dominan Positif atau Negatif?

Beberapa waktu lalu, ramai pernyataan Jokowi soal cawe-cawe di Pemilu 2024 mendatang

Menakar Respons Publik Soal Ramai Statement Jokowi Cawe-Cawe di Pemilu 2024, Dominan Positif atau Negatif? Presiden Indonesia, Joko Widodo | Sekretariat Kabinet

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengundang para pemimpin redaksi media untuk bertemu di Istana Negara, Jakarta, tepatnya pada Senin (29/5) sore. Menurut beberapa sumber yang turut diundang, dalam pertemuan yang berlangsung selama dua jam tersebut secara umum membahas tentang manuver yang akan dijalankan Joko Widodo pada Pemilu Presiden RI 2024 mendatang.

"Cawe-cawe untuk negara, untuk kepentingan nasional. Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini, saya bisa cawe-cawe," kata Jokowi dilansir CNN Indonesia, Senin (29/5).

"Kepemimpinan itu jangan maju mundur. Siapa pun yang memimpin harus mengerti apa yang dikerjakan, mikro, makro, situasi global," tegas Jokowi.

Secara umum, yang dimaksud Presiden Jokowi perihal cawe-cawe ini adalah akan turut ambil bagian dalam Pemilu 2024 mendatang. Dalam artian, Presiden yang juga sebagai pejabat politik memiliki hak untuk memastikan penerusnya ke depan perlu memiliki ide dan kapabilitas yang berkelanjutan untuk membangun negara.

Keterangan Presiden Joko Widodo pun diperjelas oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin yang menjelaskan bahwa presiden ingin memastikan pemilu 2024 mendatang dapat terselenggara dengan baik dan aman serta pemimpin berikutnya dapat meneruskan pembangunan yang telah berjalan.

"Presiden ingin pemimpin nasional ke depan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis seperti pembangunan IKN, hilirisasi, (hingga) transisi energi bersih," jelas Bey dilansir CNN Indonesia.

Respons para elit

Setelah pernyataan tersebut tersebar luas, publik menanggapi dengan ragam hal. Banyak yang setuju dengan pernyataan tersebut, tapi tak sedikit pula yang juga mengkritik manuver Jokowi, tak terkecuali para elit negara.

Misalnya, Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla yang turut mendukung pernyataan presiden tersebut. Namun, JK menjelaskan dukungan tersebut apabila yang dimaksud dengan cawe-cawe tersebut adalah untuk demokrasi yang berjalan dengan baik.

”Kalau penjelasan dari pers itu cawe-cawe untuk, agar, menjaga demokrasi, menjalankan pemilu yang jurdil (jujur dan adil), sangat bagus. Jadi, kita harap itu tentu dapat dilaksanakan dengan baik," kata Jusuf Kalla dilansir Kompas, Selasa (30/5).

Hal yang berbeda ditanggapi oleh Partai Demokrat melalui Wakil Ketua Umumnya, Benny K. Harman. Dirinya menyebut, seorang kepala negara haruslah netral dalam menanggapi Pemilu 2024 mendatang.

"Kami tetap punya pandangan presiden itu harus netral. Bolehlah dia punya dukungan karena dia adalah petugas partai, tapi dia tidak boleh menggunakan aparatur negara, alat negara untuk merealisasikan apa yang dimaksudkan dengan kepentingan bangsa dan negara itu," kata Benny dilansir Republika, Selasa (30/5).

Lalu, seberapa penting netralitas presiden menurut publik?

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Senin (29/5) pagi Litbang Kompas menampilkan hasil jajak pendapatnya yang telah dilakukan sepanjang 9-11 Mei 2023 mengenai urgensi netralitas presiden pada Pemilu 2024 mendatang. Mengambil sampel 506 responden dari 38 provinsi, Kompas mengeklaim penelitian ini memiliki tingkat kepercayaan 95% dengan nirpencuplikan di angka sekitar 4,37%.

Urgensi netralitas presiden menurut survei Litbang Kompas | GoodStats

Hasilnya, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap sangat penting presiden untuk bersikap netral pada Pemilu 2024 mendatang. Angkanya mencapat 90,3%. Sementara itu, hanya 7,6 masyarakat yang menjawab biasa saja dan 1,9% yang menjawab tidak penting, lainnya menjawab tidak tahu.

"Di tengah tahapan Pemilihan Umum 2024 yang tengah berjalan, isu netralitas presiden menyeruak ke publik. Sebagai pejabat negara, publik memandang kenetralan presiden mutlak harus dijaga. Tingginya harapan publik atas kenetralan presiden dalam Pemilu 2024 terekam dari hasil jajak pendapat Kompas awal Mei 2023," tulis Kompas, Senin (29/5).

Litbang Kompas juga turut menanyakan lebih lanjut mengenai perspektif masyarakat hingga keyakinan masyarakat terhadap sikap presiden saat ini. Lebih lanjut, Kompas juga menanyakan perihal definisi tidak netral seorang pejabat publik, khususnya presiden.

Hasilnya, 30,67% masyarakat menyebut "menyatakan dukungan pada partai tertentu" jadi salah satu sikap utama yang menandakan pejabat publik sudah tidak netral dalam konstestasi pemilu. Di posisi dua terdapat poin "menyatakan dukungan pada kandidat tertentu" dengan persentase 28,04%; disusul "menerima hadiah atau uang dari partai atau kandidat politik tertentu" dengan poin 21,36%, serta beberapa poin lain.

Sikap tidak netral menurut publik | GoodStats

"Di mata responden, aktivitas dan komunikasi politik Presiden ini dikhawatirkan akan mengganggu kenetralannya. Hal ini terekam dalam jajak pendapat Kompas, yang memperlihatkan seperlima responden menilai kehadiran atau keterlibatan Presiden dalam kampanye politik pihak tertentu juga menjadi bentuk ketidaknetralan yang harus dihindari," tulis Kompas.

Penulis: Raihan Hasya
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Survei GoodStats: Benarkah Kesadaran Masyarakat Akan Isu Sampah Masih Rendah?

Survei GoodStats mengungkapkan bahwa 48,9% responden tercatat selalu buang sampah di tempatnya, 67,6% responden juga sudah inisiatif mengelola sampah mandiri.

Dukungan Presiden di Battle Ground Pilkada Jawa Tengah

Bagaimana elektabilitas kedua paslon di Jawa Tengah hingga membutuhkan dorongan besar Presiden RI?

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook