Kebutuhan masyarakat terhadap ruang publik saat ini semakin meningkat. Ruang-ruang ini dikenal juga sebagai ruang ketiga ‘third place’, merujuk pada ruang aktivitas di luar rumah (ruang pertama) dan kantor/sekolah (ruang kedua).
Kini, semakin banyak juga perusahaan yang menyadari potensi pengembangan ruang ketiga sebagai bagian dari strategi komunikasi dan representasi brand yang lebih luas.
Topik ini diangkat dalam diskusi Good News From Indonesia (GNFI) bersama Perhimpunan Humas Indonesia (Perhumas), yang mengulas soal strategi brand dalam membangun dan mengelola ruang ketiga bagi publik di era kontemporer.
“Ruang publik seperti sekolah dan tempat bekerja tidak cukup bagi masyarakat urban yang terus berkembang dan memiliki mobilitas yang tinggi,” ujar CEO GNFI Wahyu Aji dalam sambutannya di acara bertajuk "Creating Third Place: Engaging Communities" itu, yang digelar di Ganara Art Space Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (17/12).
Menurut Aji, fenomena ini bisa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk ikut menghadirkan ruang ketiga, karena bisa mendekatkan brand dengan customer, bahkan dengan masyarakat luas.
Ketersediaan Ruang Publik di Indonesia
Ketersediaan ruang publik menjadi kewajiban pemerintah daerah. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan Pemerintah (PP) 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Adapun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) RI, jumlah desa/kelurahan yang memiliki ruang publik terbuka cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meski begitu, angkanya masih cukup rendah, tak sampai 40%.
Per 2024, dari 84.276 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, 30.339 (36%) di antaranya tercatat sudah memiliki ruang publik terbuka.
Angka itu jauh meningkat dibanding 2018, di mana jumlah desa/kelurahan yang memiliki ruang publik terbuka baru 20.138 (24%) dari total 83.931 desa/kelurahan.
Menurut provinsinya, Jakarta ada di urutan teratas, dengan 234 (88%) dari total 267 desa/kelurahannya sudah memiliki ruang publik terbuka pada 2024.
Namun, kesenjangan antarprovinsi masih cukup tinggi. Di Banten misalnya, provinsi tetangga Jakarta, baru 27% desa/kelurahannya yang punya ruang publik terbuka.
Perusahaan Hadirkan Ruang Ketiga, jadi Strategi Komunikasi
Saat ini, banyak perusahaan yang ikut menyediakan dan mengembangkan ruang publik atau ruang ketiga. Selain berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, ini juga dilakukan sebagai salah satu strategi komunikasi publik dalam rangka aktivasi.
Lebih dari sekadar ruang fisik, ruang-ruang ketiga ini dibangun sebagai ruang interaksi, di mana masyarakat maupun komunitas bisa bertemu dan berkolaborasi.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh PT Astra International Tbk., salah satu perusahaan multinasional terbesar di Indonesia.
Disampaikan Head of Corporate Communications Astra Boy Kelana Soebroto, ruang ketiga menjadi sarana penting untuk memperkenalkan nilai perusahaan kepada khalayak umum.
Di Astra, kata Boy, inisiatif ini juga diambil berlandaskan komitmen keberlanjutan ‘Astra 2030 Sustainability Aspirations’.
“Astra turut menghadirkan ruang ketiga melalui 4 pilar kontribusi sosial berkelanjutan, yakni pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan kewirausahaan,” tuturnya.
Lebih dari itu, Astra mengembangkan ruang ketiga untuk membangun kolaborasi lintas-sektor berskala nasional melalui program-program berbasis komunitas seperti ‘SATU Indonesia Awards’, program penghargaan bagi anak-anak muda inspiratif, hingga ‘Kampung Berseri Astra’ yang memberdayakan warga kampung/desa untuk membangun ekonomi lokal.
“Kita kumpulkan para penggerak untuk mendorong kolaborasi antarbidang, antardaerah, antarpulau, agar bisa maju bersama,” ujar Boy yang juga Ketua Umum Perhumas itu.
“Dengan dukungan itu semua, Astra siap mendukung kehadiran ruang ketiga bagi komunitas-komunitas yang ada di seluruh Indonesia,” tegasnya.
Perusahaan Bertransformasi, Hadirkan Ruang Ketiga
Pada kenyataannya, pengembangan ruang ketiga saat ini bahkan menjadi bagian dari strategi transformasi perusahaan.
PT Sarinah misalnya, yang beroperasi sejak 1966 sebagai ritel modern pertama di Indonesia dan Asia Tenggara, mulai bertransformasi pada 2020 menjadi pusat belanja yang lebih terbuka dan inklusif, khususnya bagi anak-anak muda.
“Saat bertransformasi, kami berpikir belum ada ruang ketiga untuk anak-anak muda di Indonesia. Maka konsep, spirit, dan pendekatannya kami ubah untuk mengakomodasi kebutuhan itu,” kata Direktur PT Sarinah Fetty Kwartati.
Fetty menyebut, langkah transformasi ini telah menjadikan Sarinah lebih dari sekadar tempat belanja. Sarinah kini mengoptimalkan 5 fungsi ruang yang dimilikinya sebagai ruang ketiga.
“Kami gunakan pendekatan placemaking, di mana Sarinah bisa berfungsi sebagai ruang belanja, ruang sosial, ruang budaya, ruang gaya, dan ruang maya,” ujarnya.
Diakui Fetty, keterbukaan dan kehadiran ruang ketiga pascatransformasi itu menjadi salah satu strategi komunikasi yang cukup efektif buat Sarinah dari segi promosi.
“Budget promosi bisa kita tekan, karena banyak promosi organik dari para pengunjung yang membagikan momennya di Sarinah ke media sosial,” kata dia.
Ke depan, Fetty menegaskan pihaknya akan terus berinovasi mengembangkan ruang ketiga, untuk menjadikan Sarinah tempat yang relevan dan inklusif bagi lintas generasi.
Mal sebagai Ruang Ketiga
Tak hanya Sarinah, upaya menghadirkan ruang ketiga juga dilakukan oleh mal kenamaan lainnya di ibu kota, Plaza Indonesia. Hal itu diungkapkan Digital, PR & Marketing Communications, and Design Senior Manager Plaza Indonesia Gery Irvandi.
Ia dan pihaknya kini mendorong Plaza Indonesia menjadi one stop places, di mana selain berbelanja, setiap orang bisa melakukan berbagai aktivitas lain di sana.
“Sebagai ruang ketiga, Plaza Indonesia menjadi tempat berkumpul, berkolaborasi, berekspresi, bersosialisasi, dan rekreasi para pengunjung,” tutur Gery.
“Intinya kita bisa lakukan beragam aktivitas, ada experience yang dibawa pulang setiap pengunjung Plaza Indonesia,” tambahnya.
Plaza Indonesia yang sudah 34 tahun eksis, menurut Gery, telah beranjak dari sekadar tempat belanja menjadi pusat gaya hidup. Ini salah satunya dicapai melalui pengembangan ruang ketiga lewat berbagai macam kegiatan seperti Fashion Week, Movie Screening Premiere, sampai pertunjukan musik.
Dalam mengelola komunikasi brand, Gery juga menekankan pentingnya membangun interaksi dan hubungan dengan konsumen di era sekarang, baik di ruang fisik melalui ruang ketiga, maupun di ruang digital melalui media sosial.
“Kami selalu mendengarkan audiens dan konsumen, inginnya semua bisa dapat pengalaman terbaik ketika ke Plaza Indonesia, di tiap ruang, fisik maupun digital,” terang Gery.
Diskusi yang didukung oleh Plaza Indonesia, Kopi Janji Jiwa, dan Elzatta ini menegaskan pentingnya pengembangan ruang ketiga sebagai strategi komunikasi perusahaan. Pendekatannya bisa berbeda-beda tergantung nilai dan karakteristik tiap perusahaan maupun target audiens. Dengan strategi yang tepat, perusahaan tak hanya mampu memperkuat brand awareness, tetapi lebih jauh, berkontribusi pada terciptanya ruang publik yang lebih inklusif dan bermakna.
Baca Juga: Membangun Reputasi Brand di Tengah Kebisingan Ruang Digital
Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Editor