Membangun Reputasi Brand di Tengah Kebisingan Ruang Digital

Diskusi GoodTalk Off-Air menyoroti bagaimana praktik komunikasi publik dalam membangun reputasi brand menjadi lebih menantang di era digital.

Membangun Reputasi Brand di Tengah Kebisingan Ruang Digital Moderator dan Narasumber Diskusi GoodTalk Off-Air, Selasa (12/11/2024) | GNFI

Jakarta, 12 November 2024 - Di era digital, membangun dan menjaga reputasi organisasi atau brand menjadi lebih kompleks dan menantang. Sirkulasi informasi yang berlangsung dengan cepat dan nonstop melalui beragam platform digital, membuat setiap tindakan besar atau kecil, positif maupun negatif, bisa langsung sampai dan memengaruhi persepsi publik.

Isu ini diangkat menjadi topik diskusi dalam acara GoodTalk Off-Air bertajuk “Building Reputation in Noisy Digital World: Managing Image and Public Trust” yang diadakan Good News From Indonesia (GNFI) bersama Persatuan Humas Indonesia (Perhumas) dan Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), di Patio by Plataran, Jakarta Selatan, Selasa (12/11).

Di satu sisi, ruang digital dianggap memberikan peluang besar untuk menjangkau audiens lebih luas dan memperkuat citra positif brand. Namun, di sisi lain, brand mesti waspada terhadap krisis reputasi yang bisa muncul kapan saja akibat kesalahan kecil, misinformasi, atau sentimen publik yang tak dikelola dengan baik.

“Di dunia digital, reputasi brand bisa baik dalam sekejap, tapi bisa juga runtuh dalam sekejap,” ujar CEO GNFI Wahyu Aji dalam sambutannya.

Reputasi Sebagai “Nyawa” Brand

Kepercayaan terhadap brand dan perusahaan masuk sebagai pertimbangan utama konsumen | GoodStats

Survei dari Edelman, sebuah firma agency komunikasi global pada April 2024 di 15 negara termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa faktor kepercayaan pada brand (88%) maupun kepercayaan pada perusahaan (82%) ada di antara pertimbangan utama konsumen dalam memutuskan membeli suatu barang/jasa.

Ini memberi gambaran pentingnya menjaga reputasi bagi sebuah brand, sebagai entitas komersial, karena kepercayaan menjadi kunci utama yang mendorong keputusan konsumen.

Lebih luas, reputasi ini juga menjadi basis bagi brand untuk membangun hubungan kuat dengan stakeholders lain seperti media ataupun mitra bisnis.

Namun, diakui Sari Soegondo, Co-Founder & Executive ID COMM sekaligus Ketua Umum APPRI, membangun reputasi di era digital seperti sekarang menghadirkan begitu banyak tantangan dengan segala karakteristiknya.

Sari yang sudah berpraktisi di bidang kehumasan atau public relations (PR) selama 25 tahun, paham betul pergeseran tantangan komunikasi publik di era digital dibandingkan era konvensional.

“Perjalanan membangun reputasi menjadi semakin tak mudah di zaman digital yang terlalu bising, chaos, dan terdapat information overload,” ujar Sari.

Stakeholder akan punya ekspektasi yang jauh lebih tinggi sebagai konsekuensi logis dari masuknya brand ke dunia digital," tambahnya.

Ia menyoroti bagaimana arus perputaran informasi yang begitu cepat di ruang digital selama 24 jam penuh, membuat brand secara konstan mesti mengawasi tren, respon, dan sentimen publik yang muncul, termasuk potensi disinformasi atau misinformasi.

“Karena dunia digital begitu cair, baik positif dan negatif. Jadi tidak bisa statis. Hubungan antara merek dan audiens secara terus menerus, naik dan turun. Hal ini berkontribusi terhadap terbangunnya reputasi,” jelas Sari.

Menurut Sari, setidaknya ada tiga elemen penting dalam membangun dan menjaga reputasi brand di era digital, yakni otentisitas, konsistensi, dan transparansi. Penerapan ketiga elemen ini, kata dia, dalam jangka panjang bakal membentuk loyalitas dan dukungan dari publik secara natural.

“Bahkan ketika brand dihadapkan dengan situasi krisis, mereka bisa muncul sebagai advocate, endorser, pasang badan buat kita,” ujarnya.

Rentannya Reputasi Brand Keuangan dan Kesehatan di Ruang Digital

Keuangan dan kesehatan termasuk topik yang paling sering menjadi sasaran hoaks | GoodStats

Brand keuangan dan kesehatan termasuk di antara yang paling rentan mengalami krisis reputasi karena tingginya potensi misinformasi kedua topik itu di ruang digital.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2024 menangkap bahwa 21,1% responden di Indonesia mengaku sering menemui informasi hoaks pada kategori keuangan, dan 13,5%  sering menemukannya pada kategori kesehatan.

Hery Kurniawan, SVP Corporate Communication CIMB Niaga, mengatakan bahwa bisnis keuangan khususnya perbankan sendiri sangat bergantung pada kepercayaan dan reputasi. Sebab selain mengelola aset dan informasi keuangan yang sifatnya sangat sensitif, perbankan juga beroperasi di bawah peraturan dan pengawasan yang ketat dari otoritas keuangan.

Dalam membangun reputasi, ia dan pihaknya memusatkan strategi pada penanaman nilai-nilai inti dan budaya perusahaan kepada segenap karyawan. Hal ini dilakukan untuk menghadirkan kontribusi terbaik kepada para nasabah, agar kepercayaan mereka bisa terbangun makin kuat.

“Nilai integritas dan akuntabilitas, serta customer centricity, jadi dasar bagi kami dalam membangun kepercayaan nasabah dan berbagai stakeholder,” kata Hery yang juga Wakil Ketua Umum Perhumas itu.

“Apapun yang kami lakukan harus berorientasi untuk memenuhi kebutuhan nasabah,” lanjutnya.

Di samping itu, analisis keluhan dan sentimen di media sosial juga konsisten dilakukan oleh CIMB Niaga dalam mengelola risiko reputasi sekaligus menjalankan kepatuhannya kepada regulator.

Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh salah satu brand kesehatan, Nutrifood. Disampaikan PR Manager Nutrifood, Arninta Puspitasari, penting untuk menempatkan nilai-nilai internal perusahaan secara konsisten sebagai fondasi dalam membangun reputasi.

“Kalau ngomongin reputasi, kita mulai dulu dari value kita di dalam," kata Arninta.

Pendekatan ini, kata dia, di antaranya diwujudkan dengan mendorong karyawan untuk menjalani gaya hidup yang lebih sehat, menjalankan proses bisnis yang berkelanjutan, baru pada akhirnya mengkampanyekan nilai-nilai tersebut ke luar perusahaan.

“Nilai-nilai ini (gaya hidup sehat dan keberlanjutan) ingin kita komunikasikan ke luar, menjangkau audiens sebesar-besarnya, bukan hanya demi nama baik, tapi juga dampak,” paparnya.

Diskusi ini menyoroti bahwa di era digital yang dinamis, reputasi tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai inti yang dijalankan secara konsisten oleh organisasi atau brand. Nilai-nilai tersebut berperan sebagai kompas dalam menghadapi tantangan dan peluang membangun reputasi di ruang digital, yang pada akhirnya tak hanya mampu membangun kepercayaan publik, tapi juga menciptakan dampak jangka panjang yang bermakna.

Baca Juga: Aksi Boikot Produk Terafiliasi Israel: Mengupasnya dari Perspektif Sosiologi & Branding

Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Editor

Konten Terkait

Pemerintah Pusat Siap Belanjakan Rp2.701,4 Triliun pada 2025

Pemerintah menyiapkan anggaran belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun pada 2025, sebanyak Rp2.701,4 triliun di antaranya dialokasikan untuk pemerintah pusat.

Bagaimana Pengaruh Kesadaran Lingkungan terhadap Perilaku Berbelanja?

Setiap tahunnya, produk ramah lingkungan semakin banyak digemari. Hal ini menandakan tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan saat berbelanja.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook