Masih hangat di ingatan publik, sebuah kritik berujung ancaman pidana yang dialami oleh Syarifah Fadiyah Alkaff pada tahun 2023 lalu. Setelah mengkritik Wali Kota Jambi Syarif Fasha dan perusahaan asal Cina PT RPSL terkait pelanggaran Perda Nomor 4 Tahun 2017 tentang Angkutan Jalan, Syarifah sempat dilaporkan ke pihak berwajib.
Syarifah dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE oleh Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Jambi Muhamad Gempa Awaljon Putra dan Humas Kota Jambi.
Kasus serupa juga dialami oleh Bima Yudho Saputro, kreator konten TikTok dengan akun @awbimaxreborn. Setelah menyoroti berbagai masalah di Lampung, Bima dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian oleh pengacara Gubernur Lampung, Gindha Ansori.
Situasi ini menggambarkan tantangan kebebasan berpendapat di Indonesia, yang seharusnya tidak terjadi dalam negara demokratis. Kasus-kasus serupa yang bermunculan pada akhirnya hanya akan membuat rakyat ketakutan dalam menyampaikan kritiknya terhadap pemerintahan. Padahal, asas demokrasi menegaskan bahwa setiap warga negara bebas berpendapat.
75% Masyarakat Indonesia Sebut Kritik Terbuka Terhadap Pemerintah Diperlukan
Hasil Survei Pew Research Center tahun 2023 menyoroti pandangan masyarakat Asia tentang kebebasan mengkritik pemerintah. Di Indonesia, 75% masyarakat setuju bahwa pemerintah harus bisa dikritik secara terbuka, sementara 23% tidak setuju.
Sebagai perbandingan, di Malaysia, 63% setuju dan 36% tidak setuju, menunjukkan dukungan yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Di Singapura, hanya 55% yang setuju, dengan 41% tidak setuju, mengindikasikan dukungan yang paling rendah di antara ketiga negara tersebut.
Selain itu, ada perbedaan pendapat tentang bagaimana kebebasan berpendapat seharusnya tetap berada di bawah norma-norma sosial yang berlaku. Banyak masyarakat di Asia yang menganggap bahwa kritik harusnya disampaikan dengan sopan dan santun untuk menjaga keharmonisan sosial.
67% Masyarakat Indonesia Sepakat Kritik Harusnya Sopan dan Santun
Di beberapa negara seperti Kamboja (69%) dan Indonesia (67%), mayoritas masyarakat menganggap keharmonisan sosial lebih penting daripada hak untuk mengutarakan pendapat. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa kritik harus disampaikan dengan sopan dan santun.
Sebaliknya, mayoritas orang dewasa di Thailand (59%) lebih mendukung kebebasan berbicara meskipun dapat menimbulkan ketidakharmonisan.
Keinginan masyarakat untuk menyampaikan kritik secara terbuka dengan berbagai cara ini jelas bersinggungan dengan kebebasan berekspresi. Laporan Global Expresion Report (GxR) tahun 2024 oleh Article 19 dan Varieties of Democracy Institute (V-Dem) memperlihatkan situasi kebebasan tersebut di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Indonesia Unggul dari Malaysia dan Singapura dalam Kebebasan Berekspresi
Indonesia berada di peringkat 82 dengan skor 53, menandai bahwa masih ada ruang untuk perbaikan di ranah kebebasan untuk berekspresi. Skor ini juga menempatkan Indonesia ke dalam kategori negara yang masih membatasi kebebasan berekspresi masyarakatnya.
Di sisi lain, Malaysia berada di peringkat 97 dengan skor 42, dan Singapura di peringkat 112 dengan skor 30.
Baca Juga: 84% Generasi Muda Optimis dengan Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Penulis: Intan Shabira
Editor: Editor