World Health Organization (WHO) mencatat terdapat 726 ribu orang meninggal karena bunuh diri di setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, angka kasus bunuh diri tahun selalu meningkat setiap tahun. Dirangkum dari Komnas Perempuan, terdapat 1.226 kasus bunuh diri pada tahun 2023. Jumlah tersebut meningkat 36% dibanding tahun sebelumnya.
Salah satu gejala paling awal dari perilaku bunuh diri adalah keinginan untuk mengakhiri hidup. National Institute of Mental Health United States merangkum ciri-cirinya dinilai dari cara bicara, perasaan, dan perubahan perilaku. Orang yang memiliki tanda-tanda ingin bunuh diri seringkali merasa kesedihan yang mendalam, ketiadaan tujuan hidup, rasa sakit emosional yang tidak tertandingi, merasa bersalah, merasa membebani orang lain, dan masih banyak lagi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat kondisi kesehatan jiwa masyarakat Indonesia dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Penilaian masalah kesehatan jiwa dilakukan menggunakan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang dikembangkan oleh WHO. Ada 20 pertanyaan SRQ yang harus dijawab oleh masing-masing responden yang merupakan anggota rumah tangga dengan usia di atas 15 tahun. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah ada/tidaknya pikiran untuk mengakhiri hidup.
Melalui pertanyaan tersebut, dapat diperoleh angka prevalensi penduduk berusia di atas 15 tahun yang mempunyai pikiran mengakhiri hidup dalam 1 bulan terakhir. Perhitungan prevalensi didapatkan dari jumlah responden yang mengaku memiliki keinginan mengakhiri hidup dibagi dengan seluruh individu yang berumur di atas 15 tahun.
Secara keseluruhan, hasil prevalensi yang diperoleh adalah 0,25%. Artinya ada 25 dari 10 ribu orang Indonesia yang memiliki pikiran mengakhiri hidup. Meskipun tampak kecil, jika populasi ini diakumulasikan secara total, maka ada lebih dari 630 ribu orang Indonesia yang memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup.
Kaum Muda dan Lanjut Usia Jadi yang Paling Rentan
Prevalensi tertinggi pikiran mengakhiri hidup ditemukan pada usia remaja hingga dewasa awal, yaitu 15 hingga 24 tahun. Menurut penelitian berjudul Depression in Young People yang diterbitkan oleh The Lancet, remaja yang merasa stres akibat lingkungan sosial (riwayat perundungan, hubungan yang tidak harmonis, hidup dengan tekanan), serta yang tergabung dengan kelompok minoritas tertentu memiliki risiko depresi yang lebih tinggi. Depresi pada remaja dan dewasa awal dapat menyebabkan gangguan fungsi interpersonal. Padahal, pada usia ini, manusia mengalami masa transisi penting dalam perkembangan sosial, emosional, dan kognitif.
Prevalensi tertinggi kedua dan ketiga ada pada usia lanjut, yaitu di atas 65 tahun. Menurut artikel Clinical Review: Depression in Older Adults yang dirilis oleh BMJ, depresi pada lansia cenderung berisiko lebih tinggi menyebabkan bunuh diri daripada depresi pada usia muda. Depresi pada lansia biasa diikuti dengan penyakit kronis lainnya seperti diabetes, penyakit jantung, demensia, hingga stroke. Faktor psikososial juga turut mengakibatkan depresi pada kaum lansia, seperti ketakutan akan kematian, kehilangan peran dan status sosial, ketidakmampuan beradaptasi dengan penyakit, hingga perasaan berduka karena kehilangan.
Lebih Banyak Perempuan yang Ingin Mengakhiri Hidupnya
Hasil survei juga menunjukkan bahwa prevalensi perempuan lebih tinggi ketimbang laki-laki, bahkan hampir dua kali lipatnya. Menurut artikel berjudul Why is Depression More Prevalent in Women? yang diterbitkan oleh Journal of Psychiatry & Neuroscience, faktor utama penyebab depresi pada perempuan adalah faktor biologis seperti variasi level hormon estrogen. Berkurangnya hormon estrogen meningkatkan risiko terkena depresi. Adapun faktor lain yang diduga meningkatkan depresi pada perempuan adalah perbedaan perlakuan sosial yang didapatkan, masih belum memiliki bukti yang cukup secara ilmiah.
Pelajar dan Pengangguran Lebih Rentan untuk Berpikir Mengakhiri Hidup
Hasil survei juga menunjukkan prevalensi penduduk yang mempunyai pikiran mengakhiri hidup tertinggi menurut pekerjaan adalah pelajar. Menurut artikel berjudul Childhood Depression: Rethinking the Role of the School yang diterbitkan oleh jurnal Psychology in the Schools, gejala depresi pada pelajar dapat disebabkan oleh persepsi diri yang negatif terhadap kompetensi. Persepsi diri ini dapat berkembang dari berbagai pengalaman seperti kritik, pengabaian, penolakan, dan kegagalan pencapaian akademik.
Hal serupa juga dirasakan oleh pengangguran. Hasil SKI 2023 menunjukkan bahwa pengangguran menjadi ‘profesi’ kedua yang memiliki prevalensi tertinggi. Hal ini selaras dengan temuan dari jurnal terbitan International Journal of Occupational Safety and Ergonomics yang berjudul Unemployment Associated with Major Depression Disorder and Depressive Symptoms: a Systematic Review and Meta-analysis.
Artikel tersebut menyebutkan adanya bukti nyata bahwa pengangguran dapat meningkatkan prevalensi gejala depresi. Beberapa penyebabnya adalah kecenderungan pengangguran untuk menerapkan kebiasaan dan gaya hidup yang tidak sehat, faktor menurunnya pendapatan, dan faktor lainnya yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan keluarga.
Orang yang Tinggal di Perkotaan Lebih Banyak yang Ingin Mengakhiri Hidup
Hasil survei juga menunjukkan bahwa prevalensi ini lebih banyak dialami oleh orang-orang yang tinggal di perkotaan. Kementerian Kesehatan juga menyebutkan bahwa masyarakat kota cenderung dihadapkan pada tumpukan beban kerja, tuntutan mobilitas, dan keterbatasan waktu yang menyebabkan orang-orang di kota memiliki Depresi Terselubung (Masked Depression).
Hasil penelitian pada artikel Urban–Rural Differences in Older Adult Depression: A Systematic Review and Meta-analysis of Comparative Studies yang diterbitkan oleh American Journal of Preventive Medicine juga menyebutkan bahwa prevalensi depresi di kota besar lebih tinggi secara signifikan daripada di desa. Lingkungan di kota dapat meningkatkan depresi melalui eksposur cahaya di malam hari yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan gangguan tidur. Selain itu risiko kejahatan kriminal di kota besar juga dapat meningkatkan risiko depresi.
Upaya Pemerintah
Kemenkes RI menganjurkan skrining kesehatan jiwa minimal satu tahun sekali sebagai langkah deteksi dini. Skrining dapat dilakukan mulai dari anak-anak hingga lanjut usia sehingga apabila ditemukan tanda-tanda gangguan kesehatan mental, intervensi lebih cepat dilakukan. Anjuran ini diberikan oleh Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dr. Imran Pambudi.
“Sasaran skrining kesehatan jiwa adalah seluruh siklus hidup, mulai dari ibu hamil, nifas, anak, remaja, dewasa, dan lansia,” ujar Imran di Jakarta, mengutip laman resmi Kemenkes.
“Untuk kelompok masyarakat yang berisiko masalah kesehatan jiwa seperti individu dengan penyakit kronis, termasuk sasaran prioritas untuk mendapatkan skrining satu kali dalam setahun, tapi bisa dilakukan lebih dari satu kali jika diperlukan.”
Imran juga mengatakan bahwa layanan ini dapat diakses di puskesmas terdekat, tidak hanya di puskesmas kota besar.
“Skrining kesehatan jiwa dan tindak lanjut hasil skrining merupakan salah satu program pencegahan masalah kesehatan jiwa yang dijalankan oleh tenaga kesehatan di puskesmas, sehingga semua puskesmas bisa melaksanakan kegiatan skrining ini, bukan hanya puskesmas di kota-kota besar,” katanya.
Kemenkes turut melakukan upaya lain dengan menyediakan skrining kesehatan jiwa secara digital melalui Sistem Informasi Kesehatan Jiwa (SIMKESWA) dan SATUSEHAT Mobile. Selain itu, kapasitas tenaga kesehatan sedang ditingkatkan melalui Learning Management System secara hybrid. Pelaksanaan skrining kesehatan jiwa ini nantinya akan diintegrasikan dengan layanan primer lainnya.
Baca Juga: Tingkat Depresi VS Jumlah Psikolog Klinis: Masih Ada Ketimpangan?
Penulis: Yazid Taufiqurrahman
Editor: Editor