Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, telah resmi ditetapkan sebagai tersangka perbuatan asusila dan kasus narkoba. Selanjutnya, Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri akan mengadakan sidang etik untuk AKBP Fajar pada Senin (17/3) mendatang.
Divpropam Polri menyebut, tindakan yang dilakukan AKBP Fajar tergolong berat. Mantan Kapolres Ngada ini diketahui telah melakukan pelecehan seksual pada tiga anak di bawah umur, berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun, serta satu orang dewasa berusia 20 tahun. Dalam kasus ini, terindikasi adanya perzinahan atau persetubuhan tanpa ikatan pernikahan.
Tak hanya itu, AKBP Fajar bahkan merekam dan mengunggah video pelecehan seksual tersebut ke situs dewasa. Sejumlah bukti ditemukan di TKP, di antaranya berupa pakaian korban, hasil visum, dan compact disk. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan pelaku positif mengonsumsi narkoba.
Kasus ini menambah panjang daftar kasus kekerasan seksual pada anak-anak Indonesia. Yang lebih disayangkan, Polri yang seharusnya berperan sebagai pelindung, justru beraksi sebagai pelaku.
Gambaran Kekerasan pada Anak di Indonesia
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 2 anak berusia 13-17 tahun mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Jumlah tersebut kurang lebih setara dengan 11,5 juta anak.
Sebanyak 49,83% anak laki-laki dan 51,78% anak perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Kekerasan emosional menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dialami anak-anak.
Meskipun jumlah kekerasan seksual jauh lebih rendah dari bentuk kekerasan lainnya, dampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata. Jumlah kekerasan seksual pada anak laki-laki bahkan meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Peningkatan ini juga difaktori oleh penambahan kategori pada bentuk kekerasan ini. Pada SNPHAR 2018 dan 2021, hanya ada dua tindakan kekerasan seksual, yaitu kekerasan seks kontak dan kekerasan non-kontak. Kini, ditambah dengan tindakan eksploitasi seksual (seks dengan bentuk imbalan).
Peran Polri (Seharusnya): Melindungi
Kepala Program Perlindungan Anak UNICEF Indonesia, Milen Kidane, menuturkan bahwa peran polisi sangat penting untuk memberikan bantuan secara tepat, memberikan keamanan, serta memulai intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi anak-anak.
Kemudian, Kepala Biro Sumber Daya Manusia dan Psikologi Mabes Polri, Brigjen Kristiyanto, juga menyampaikan bahwa kepolisian memiliki peran penting untuk mencegah dan merespons kejahatan dunia maya yang menargetkan kelompok paling rentan, termasuk perempuan dan anak-anak. Hal tersebut disampaikan usai pelatihan penanganan kasus melibatkan anak-anak 2024 lalu.
Sayangnya, oknum polisi justru menjadi pelaku kejahatan yang menargetkan anak-anak, sekaligus menyebarkan tindakannya di dunia maya.
Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Salah satunya dalam Pasal 4 UU tersebut, disebut bahwa setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selain tanggung jawab moral sebagai manusia, pihak kepolisian tentu dapat menjadikan aturan yang berlaku sebagai dasar untuk memposisikan sikapnya atas kejahatan terhadap anak.
Baca Juga: Angka Anak Tidak Sekolah di Indonesia Masih Tinggi
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor