Kasus kekerasan anak di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, menjadikannya sorotan serius bagi realitas sosial yang sedang berlangsung sekarang ini. Ironisnya, banyak kasus ditemui terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk anak, yaitu rumah. Ancaman yang mengintai ternyata bukan hanya berasal dari lingkungan luar, justru yang terdekat acapkali memberi bahaya paling gawat.
Berdasakan data yang terlampir pada laman resmi SIMFONI-PPA, kasus kekerasan anak sepanjang tahun 2024 alami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, mencapai 19.628 kasus dengan jumlah korban sebanyak 21.648.
Temuan lain dari SIMFONI-PPA mengungkap bahwa pola kekerasan terhadap anak cenderung berulang setiap tahunnya. Pelaku paling banyak berasal dari lingkungan terdekat korban, dengan pacar atau teman sebaya serta orang tua sebagai pelaku tertinggi. Tertera orang tua yang menjadi pelaku kekerasan anak berturut-turut pada tahun 2021, 2022, 2023, dan 2024 adalah 2.516 orang, 2.771 orang, 3.050 orang, dan 3.123 orang. Selain itu, rumah tangga masih menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan, menjangkau angka lebih dari 5.000 kasus di setiap tahunnya.
Angka ini sedikit banyaknya menunjukkan bahwa ribuan anak masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan, bahkan di lingkungan terdekat mereka sendiri.
“Kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja, sayangnya menurut penelitian banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut,” terang Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Dr. Indria Laksmi Gamayanti dalam laman resmi UGM.
Lebih lanjut, Dr. Indria juga menjelaskan bahwa tindakan kekerasan tidak terjadi begitu saja. Ada latar belakang psikologis yang kerap menyertai pelaku.
“Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” jelasnya.
Penjelasan ini cukup menggambarkan bahwa kekerasan terhadap anak bukan hanya persoalan individu, tetapi juga cerminan dari dinamika psikososial yang kompleks, mulai dari pola asuh lintas generasi hingga tekanan hidup yang tak tersalurkan dengan sehat.
7 Provinsi dengan Angka Kekerasan Anak Tertinggi
Menelisik lebih jauh, peta kekerasan anak di Indonesia memperlihatkan bahwa sejumlah provinsi mencatat jumlah kasus yang tinggi.
Pada tahun 2024, Jawa Barat hadir di posisi pertama dengan catatan tertinggi sebanyak 2.602 korban, diikuti Jawa Timur (2.006 korban), Jawa Tengah (1.621 korban), Sumatra Utara (1.378 korban), DKI Jakarta (1.364 korban), Sulawesi Selatan (1.271 korban) dan Riau (1.264 korban).
Di samping menunjukkan maraknya kejadian kekerasan anak pada provinsi-provinsi dengan jumlah penduduk yang banyak, tingginya kasus juga bisa menandakan adanya sistem pelaporan yang lebih baik atau kesadaran masyarakat yang meningkat untuk melaporkan kasus kekerasan. Sebaliknya, provinsi dengan angka yang tampak lebih rendah belum tentu bebas dari kekerasan.
Upaya Pemerintah dalam Menekan Angka Kekerasan Anak
Untuk menekan angka kekerasan anak, Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah menggulirkan berbagai upaya, seperti penguatan layanan pengaduan melalui SAPA129, pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak di berbagai daerah sebagaimana terlampir pada Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2018, serta edukasi tentang pengasuhan tanpa kekerasan.
Namun, semua kebijakan ini tak akan berdampak maksimal tanpa keberanian masyarakat untuk melaporkan, mendukung korban, dan memutus rantai kekerasan sedari awal. Oleh karena itu, perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab milik negara, tetapi juga cerminan siapa kita sebagai manusia.
Baca Juga: 7 Provinsi dengan Kasus Kekerasan Perempuan Tertinggi 2024
Refernsi: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan.
Penulis: Dilla Agustin Nurul Ashfiya
Editor: Editor