Indonesia saat ini sedang berhadapan dengan bonus demografi. Bonus demografi terjadi saat jumlah penduduk produktif berusia 15-59 tahun mendominasi struktur usia penduduk suatu negara sehingga rasio ketergantungan menjadi lebih rendah. Ada lebih banyak penduduk usia produktif yang mampu menopang penduduk usia tidak produktif dengan anggapan bahwa seluruh penduduk usia produktif bekerja dan seluruh penduduk usia non produktif tidak bekerja.
Hal ini bisa menjadi keuntungan bila negara dapat mempersiapkannya dengan baik, namun bisa berbalik menjadi bom waktu apabila negara tidak mampu memfasilitasi. Pertanyaan besarnya adalah apakah Indonesia akan mampu memanfaatkan jendela peluang bonus demografi yang sedang berlangsung ini, atau justru akan gagal dan menjadi negara yang menua sebelum kaya?
Bonus Demografi di Indonesia
Sejak tahun 2018 hingga 2023, piramida penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk usia produktif di umur 15-59 tahun dan populasinya terus meningkat sepanjang 6 tahun belakangan. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami bonus demografi hingga nanti diperkirakan akan berakhir di tahun 2041.
Melansir dari BPS, era bonus demografi Indonesia diperkirakan akan berakhir di tahun 2041 saat rasio ketergantungan mencapai 50,30% dan akan terus naik di tahun-tahun berikutnya. Ini berarti di tahun 2041 tiap satu orang usia non produktif akan ditanggung oleh sekitar 2 orang usia produktif. Indonesia masih memiliki waktu sekitar 17 tahun lagi untuk memanfaatkan era bonus demografi. Setelah era bonus demografi selesai, maka Indonesia akan memasuki tahapan populasi yang menua atau ageing population.
Manfaat bonus demografi bukan suatu hal yang pasti dapat diraih. Bila pemerintah Indonesia mampu memfasilitasi dan memanfaatkan bonus demografi, maka Indonesia dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Jika tidak, maka bonus demografi akan menjadi bom waktu yang membawa masalah sosial dan ekonomi. Ada syarat yang harus dipenuhi agar suatu negara dapat memperoleh manfaat dari bonus demografi.
Mantan Kepala BKKBN yang menjabat di tahun 2013-2015 Fasli Jalal berpendapat ada empat syarat agar suatu negara dapat memanfaatkan bonus demografi secara maksimal meliputi kualitas angkatan kerja yang baik dari sisi kesehatan, pendidikan, dan kompetensi profesionalnya, tersedianya lapangan kerja yang memadai untuk menampung jumlah tenaga kerja yang ada, keterlibatan perempuan secara aktif dalam pasar kerja, serta peningkatan kualitas SDM usia 15 tahun ke atas agar mampu bersaing meraih kesempatan kerja.
Berkah atau Justru Bencana di Masa Depan?
Indonesia dapat belajar dari negara-negara yang telah melewati fase bonus demografi. Contoh kasus yang berhasil adalah Jepang dan Korea Selatan, sementara contoh negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi dengan baik adalah Brasil dan Afrika Selatan. Melansir dari situs Kementerian Pemuda dan Olahraga, negara-negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi mendapatkan peningkatan PDB, pendapatan per kapita, serta tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang tinggi.
Melalui rubrik Wawancara Khusus di laman Tirto, mantan kepala BKKBN era Jokowi, Hasto Wardoyo menyampaikan bahwa negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi akan sangat sulit keluar dari middle income trap atau perangkap pendapatan menengah dan kemungkinan besar selamanya akan menjadi negara miskin.
Hal ini dapat terjadi karena setelah era bonus demografi selesai, jumlah tenaga kerja akan semakin sedikit akibat dari populasi yang menua. Penduduk usia produktif akan menanggung beban yang lebih besar dengan jumlah penduduk usia non produktif yang semakin tinggi.
Dengan demikian, di akhir era bonus demografi, Indonesia akan dihadapkan dengan dua kemungkinan dan hanya satu yang akan terjadi. Antara berhasil keluar dari middle income trap dan menjadi negara dengan pendapatan tinggi, atau selamanya terjebak menjadi negara miskin berpendapatan menengah dengan stagnasi ekonomi akibat dari kegagalan memanfaatkan bonus demografi.
Keadaan Indonesia Saat Ini
Menilik dari syarat yang sudah disebutkan, Indonesia masih harus memperbaiki diri dalam hal kualitas angkatan kerja, ketersediaan lapangan kerja, serta partisipasi perempuan di pasar kerja.
Kualitas Angkatan Kerja
Kualitas angkatan kerja dapat dilihat dari segi pendidikan terakhir yang diselesaikan oleh pekerja Indonesia. Di Indonesia, 35,8% dari total 144,64 juta orang penduduk bekerja per Agustus 2024 memiliki pendidikan SD ke bawah.
Bila digabung dengan yang berpendidikan SMP, lebih dari separuh atau 53,42% pekerja Indonesia memiliki pendidikan SMP ke bawah. Ini berarti ada sekitar 51,78 juta orang berpendidikan SMP ke bawah yang bekerja di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia yang sedang menjadi pekerja masih tergolong rendah.
Ketersediaan Lapangan Pekerjaan
Ketersediaan lapangan kerja dapat dilihat dari jumlah pengangguran. Banyaknya pengangguran bisa disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja yang tersedia sehingga harus berebut dan bisa bertambah parah dengan tidak sesuainya output keterampilan pekerja setelah lulus dari institusi pendidikan untuk bergabung dalam pasar kerja.
Indikator angka pengangguran adalah nilai TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka). Semakin besar nilai TPT, berarti semakin banyak orang yang menganggur.
Per tahun 2023, para lulusan SMK lebih banyak yang menganggur daripada tamatan pendidikan lainnya dengan TPT sebesar 9,01%. Ini berarti setidaknya dari 100 orang lulusan SMK, terdapat sekitar 9 orang yang menganggur. Jenjang pendidikan terendah adalah pendidikan SD ke bawah dengan TPT 2,32%, yang berarti dari 100 orang tamatan SD ke bawah, hanya sekitar 2 orang saja yang menganggur. Padahal SMK sendiri ada dengan tujuan untuk membentuk lulusan yang siap kerja.
Melansir dari CNBC, faktor utama tingginya TPT lulusan SMK adalah karena tidak selarasnya kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan dunia kerja. Kondisi ini disebut skill mismatch, di mana terjadi ketidaksinambungan antara apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja dengan apa yang dapat ditawarkan oleh pekerja. Perlu adanya pembaruan kurikulum dan kompetensi agar lulusan SMK dapat terserap dengan baik di pasar kerja.
Partisipasi Perempuan di Dunia Kerja
Melansir dari BPS, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan hanya 56,42% di tahun 2023 sementara laki-laki ada di angka 84,66%. Ini berarti dari 100 orang perempuan yang ada di usia kerja, hanya sekitar 56 orang yang termasuk dalam angkatan kerja.
Tingginya tingkat diskriminasi terutama dalam hal upah serta lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan menjadi alasan TPAK perempuan lebih rendah dari laki-laki (IBCWE). Banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal juga menyebabkan perempuan lebih rentang mengalami diskriminasi serta tidak terlindung secara hukum.
Baca Juga: Jumlah Pengangguran di RI Turun pada Agustus 2024
Penulis: Shofiyah Rahmatillah
Editor: Editor