Media sosial merupakan wadah bagi setiap individu untuk berekspresi melalui berbagai cara, mulai dari membuat konten video, mengunggah postingan, menulis, hingga berkomentar. Platform media sosial telah dirancang sedemikian rupa agar pengguna semakin bebas dalam mengekspresikan jiwanya.
Dilansir dari We Are Social, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 143 juta individu atau setengah dari populasi pada 2025. Namun, benarkah media sosial di Indonesia sudah menjadi wadah yang aman dan nyaman bagi penggunanya?
Litbang Kompas mengadakan survei untuk mengetahui pendapat pengguna terkait demokrasi digital di sosial media Indonesia. Survey ini melibatkan 514 responden dari 38 provinsi pada 19-22 Mei 2025 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Menurut survei tersebut, sebanyak 45,6% responden merasa bebas namun tidak aman dalam berekspresi di media sosial.
Hasil survei ini menggambarkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap jaminan kebebasan berekspresi di medsos. Bahkan sebanyak 25,8% responden merasa media sosial tidak bebas dan tidak aman sebagai wadah penyalur ekspresi. Hal ini dipicu dengan beberapa kasus terkait lemahnya demokrasi digital di Indonesia yang menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu kasus yang baru saja terjadi yaitu penahanan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 6 Mei 2025. Mahasiswi berinisial SSS tersebut ditangkap karena mengunggah meme terkait Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto. Kasus tersebut semakin ramai diperbincangkan di media sosial dan menimbulkan kekhawatiran baru bagi pengguna dalam mengunggah postingan dan berkomentar, khususnya terkait dengan isu-isu politik.
Berdasarkan laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), tercatat sebanyak 170 laporan pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital terjadi pada 2024, menjadi yang paling tinggi selama satu dekade terakhir. SAFEnet juga mencatat alasan yang melatarbelakangi pelanggaran kebebasan ini, utamanya motif politik.
Melansir dari Tempo.co, Amnesty International Indonesia mencatat 13 pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi pada 2024, salah satunya kasus Septia Dwi Pertiwi yang mengkritik upah perusahaan yang di bawah UMR.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengatakan bahwa negara harusnya memberi perlindungan terhadap masyarakat yang menyampaikan kritiknya.
"Namun, dalam kasus ini negara yang diwakili oleh jaksa, justru ingin terus mempidanakan ekspresi-ekspresi politik yang sah," ungkapnya pada Selasa (29/4/2025).
Harus Bagaimana?
Litbang Kompas juga mencatat pengaturan media sosial yang perlu diprioritaskan negara. Responden berharap pengaturan media sosial Indonesia dapat lebih diperbaiki lagi, khususnya terkait perlindungan kebebasan berekspresi.
Berdasarkan hasil survei, sebanyak 34,6% responden menyoroti peningkatan literasi digital. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat masih banyak pengguna yang belum memahami ketentuan dan undang-undang yang berkaitan dengan penggunaan media sosial.
Selanjutnya, 32,5% responden merasa peraturan terkait perlindungan kebebasan berekspresi harus dibatasi dengan jelas. Hal ini bertujuan agar kasus-kasus pelanggaran kebebasan berekspresi tidak terjadi lagi. Terakhir, 28,3% responden juga menyorot pengaturan konten beresiko seperti kekerasan dan pornografi.
Baca Juga: Kasus Pelanggaran Kebebasan Berekspresi di Ranah Digital Terus Meningkat
Penulis: Salamah Harahap
Editor: Editor