PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau lebih dikenal sebagai Sritex, perusahaan tekstil raksasa asal Sukoharjo, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024. Putusan tersebut menjadi babak akhir yang pahit bagi salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, yang dulunya pernah berjaya dan mendominasi pasar domestik serta internasional.
Di balik kabar pailitnya, tersingkap beban keuangan yang sangat besar, mulai dari defisiensi modal yang semakin memburuk sejak pandemi, hingga tumpukan utang ke 28 bank nasional dan internasional yang mencapai angka triliunan rupiah.
Keputusan pailit ini muncul setelah PT Indo Bharat Rayon (IBR), salah satu kreditur dagang Sritex, mengajukan gugatan pembatalan perdamaian karena perusahaan dinilai gagal memenuhi kewajiban pembayaran. Kondisi finansial yang semakin terpuruk tak hanya berdampak pada hubungan bisnis dengan para kreditur, tetapi juga memperlihatkan bagaimana krisis internal perusahaan semakin dalam, seiring dengan membengkaknya utang serta merosotnya ekuitas.
Situasi ini mengantarkan Sritex ke titik di mana utang kepada perbankan, baik dari bank dalam negeri maupun asing, sudah tak lagi tertutupi, memicu keputusan akhir yang tak terhindarkan dari pengadilan.
Defisiensi Modal
Kondisi keuangan Sritex sudah menunjukkan tanda-tanda keterpurukan sejak beberapa tahun terakhir. Defisiensi modal pertama kali mulai terlihat signifikan pada tahun 2021, ketika pandemi COVID-19 melanda dan menghantam industri tekstil.
Pada akhir tahun tersebut, Sritex mencatatkan kerugian sebesar US$1,08 miliar dengan defisiensi modal sebesar US$398,81 juta. Posisi ini terus memburuk hingga paruh pertama tahun 2024, meskipun terdapat sedikit perbaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hingga Juni 2024, laporan keuangan Sritex menunjukkan total liabilitas mencapai US$1,59 miliar atau sekitar Rp25,12 triliun. Jumlah ini jauh lebih besar daripada total aset perusahaan yang hanya sebesar US$617,33 juta atau sekitar Rp9,7 triliun. Defisiensi modal yang dicatatkan perusahaan mencapai -US$980,55 juta, mencerminkan kondisi ekuitas yang sudah dalam posisi negatif.
Baca Juga: Sritex Bangkrut, Prabowo Ambil Langkah Cepat Libatkan 4 Menteri
Kondisi keuangan Sritex yang semakin sulit ini bermula setelah masa keemasannya pada tahun 2019, ketika mereka sempat mencatatkan laba bersih sebesar US$85,32 juta. Namun, pandemi mengubah segalanya.
Walaupun pada 2019 Sritex masih mencatat kinerja positif, bahkan melakukan akuisisi terhadap PT Primayudha Mandirijaya dan PT Bitratex Industries, hal tersebut tidak mampu menyelamatkan perusahaan dari krisis keuangan yang membayangi.
Utang ke 28 Bank
Salah satu aspek utama dari beban keuangan Sritex adalah utang bank yang menumpuk. Hingga akhir Juni 2024, Sritex tercatat memiliki utang bank jangka pendek sebesar US$11,36 juta dan utang bank jangka panjang mencapai US$809,99 juta, total sekitar Rp12,72 triliun. utang ini tersebar di 28 bank, baik nasional maupun internasional, dengan beberapa di antaranya berasal dari luar negeri.
Bank dengan jumlah piutang terbesar adalah PT Bank Central Asia Tbk (BCA), yang tercatat memberikan kredit sebesar US$71,30 juta atau sekitar Rp1,11 triliun. Berikut adalah 10 bank utama yang memiliki piutang terbesar dari Sritex:
- Bank Central Asia (BCA) = US$71,31 juta
- State Bank of India= US$43,88 juta
- Bank QNB Indonesia = US$36,94 juta
- Citibank N.A., Indonesia = US$35,83 juta
- Bank Mizuho Indonesia = US$33,71 juta
- Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten = US$33,27 juta
- Bank Muamalat Indonesia = US$25,45 juta
- Bank CIMB Niaga = US$25,34 juta
- Bank Maybank Indonesia = US$25,16 juta
- Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah = US$24,80 juta
Di luar bank nasional, sejumlah bank internasional seperti Standard Chartered Bank, Woori Bank Singapore Branch, dan Deutsche Bank AG juga termasuk dalam daftar kreditur utama yang memiliki piutang kepada Sritex.
Kondisi ini mencerminkan betapa besar eksposur Sritex terhadap pembiayaan perbankan dan memperlihatkan tingkat ketergantungan perusahaan pada kredit untuk mendukung operasionalnya. Status pailit yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga Semarang menjadi puncak dari krisis keuangan yang dialami Sritex, yang tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada 28 bank krediturnya yang harus menanggung beban gagal bayar.
Baca Juga: Sepatu Bata Bangkrut, Rugi Lebih dari Rp100 Miliar
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor