Melansir Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ekonomi syariah juga terus tumbuh dan menunjukkan pertumbuhan. Dalam laporan Indonesia Halal Market 2021/2022 yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), tercatat potensi kontribusi ekonomi syariah mencapai US$5,1 miliar terhadap PDB nasional melalui ekspor produk halal, pertumbuhan penanaman modal asing, serta substitusi impor.
“Dengan potensi pasar yang sangat besar tersebut, negara-negara lain menjadikan Indonesia sebagai target utama pasar produk halal mereka. Sehingga sekarang saatnya pelaku industri halal nasional untuk menjadi pemain utama dalam industri halal global, tidak lagi sekadar menjadi target pasar produk halal,” tutur Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Sehubungan dengan berkembangnya industri halal di Indonesia, perusahaan riset pasar Populix merilis laporan yang bertajuk Insights and Customer Perspective of Halal Industry in Indonesia. Laporan tersebut menyajikan data mengenai preferensi dan kebiasaan masyarakat muslim mengenai industri halal.
Berdasarkan laporan, tercatat bahwa umumnya konsumen muslim memiliki beberapa pertimbangan ketika membeli suatu produk. Pencantuman logo halal dan pemberian informasi yang jelas pada produk merupakan hal terpenting dengan persentase masing-masing sebesar 83% dan 80% responden.
Sebagian besar responden (75%) mengaku bahwa mereka merasa lebih aman ketika menemukan logo halal pada kemasan produk. Namun, tidak semua produk halal menerima sertifikasi halal, sehingga beberapa responden (48%) juga mengaku bahwa mereka tidak selalu mengandalkan logo sebagai indikator definitif status halal suatu produk.
Survei tersebut dilakukan selama periode Maret 2023 melalui aplikasi Populix. Survei diisi oleh 1.014 responden yang sebagian besar berasal dari kelompok usia gen Z dan memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Lalu, bagaimana preferensi masyarakat muslim di Indonesia dalam membeli makanan dan kosmetik? Berikut selengkapnya.
Preferensi makanan halal
Populix melaporkan, konsumen muslim lebih sering membeli makanan dan minuman halal dibandingkan kategori produk lainnya. Produk makanan dan minuman siap saji dalam kemasan memiliki persentase terbanyak dengan masing-masing 81% responden. Disusul oleh bumbu masakan kemasan (75%) dan bahan makanan (74%).
Mayoritas responden (57%) menganggap bahwa rekomendasi dari mulut ke mulut dari lingkungan terdekat mereka, seperti teman dan keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh ketika membeli produk makanan.
Faktor lain yang berpengaruh selanjutnya adalah dengan melihat toko yang menjual produk makanan tersebut secara langsung dengan persentase 46% responden. Ada pula responden yang memilih untuk melihat review dari salah satu situs terkait produk makanan dan melihat iklan di media sosial dengan persentase masing-masing 44% responden. Sementara, rekomendasi dari publij figure/influencer memiliki persentase sebanyak 34%.
Hasil riset menyebut, hanya sedikit konsumen muslim yang menyadari viralnya produk makanan dan minuman tanpa logo halal. Di antara mereka, 26% menyebutkan Mixue telah mendapatkan banyak pro dan kontra mengenai sertifikasi halalnya.
Namun, banyak responden (39%) yang mengaku hanya akan membeli produk makanan dan minuman viral dengan logo halal. Ada juga responden yang masih ragu dengan persentase 38%. Sementara, sisanya memiliki keinginan untuk tetap membeli (23%).
Kemudian, kebanyakan responden (87%) tidak atau belum pernah melakukan perjalanan ke negara atau daerah yang sulit menemukan makanan halal. Sementara,
Banyak konsumen Muslim yang kesulitan mencari makanan halal di kota-kota tertentu, terutama di Bali. Ketika bepergian ke kota-kota di mana makanan halal langka, mereka cenderung memasak sendiri atau membawa makanan sendiri.
Produk kosmetik dan tren kecantikan di Indonesia
Berdasarkan laporan Populix, terdapat beberapa produk kecantikan dan perawatan halal yang sering dikonsumsi oleh responden. Pasta gigi menjadi produk yang paling sering dikonsumsi dengan persentase sebanyak 68% responden.
Selanjutnya, diikuti oleh produk sampo dengan 59%, sabun cuci muka 53%, pembersih muka 45%, deodorant 42%, pelembab wajah 35%, dan serum wajah 34%. Selain itu, ada juga kosmetik dan tabir surya dengan persentase masing-masing 33% dan 27%.
Populix menyebut, responden (93%) umumnya percaya bahwa sebagian besar produk kecantikan yang sedang tren sudah memiliki logo halal. Namun demikian, jika ada produk kecantikan viral yang tidak memiliki logo halal, mereka tidak akan membeli atau ragu untuk melakukannya.
Adapun, bahan non-halal yang paling umum dikenal dalam produk kecantikan dan perawatan adalah lemak babi dengan persentase 86% responden. Diikuti oleh alkohol (khamr) dan bagian dari anjing atau hewan liar dengan persentase masing-masing sebanyak 68% dan 67%.
Ada juga darah dan bangkai dengan persentase masing-masing 66% dan 64%. Sementara, hanya sebagian kecil konsumen muslim (39%)yang akrab dengan beberapa bahan dalam produk kecantikan yang dianggap halal. Sedangkan, 32% lainnya tidak sadar dan sisanya tetap tidak yakin apakah bahan-bahan ini halal atau non-halal.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya