Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sistem makanan global, termasuk di dalamnya pengemasan dan distribusi makanan, menyumbang sepertiga dari total emisi gas rumah kaca di dunia. Untuk itu, guna meminimasi dampak makanan terhadap lingkungan, PBB merekomendasikan masyarakat dunia untuk lebih banyak mengonsumsi makanan berbasis tumbuhan alih-alih hewan, yang cenderung lebih aman bagi lingkungan.
Tidak hanya itu, daerah asal makanan juga penting untuk diperhatikan. Makanan dengan bahan dasar dari daerah luar cenderung menghasilkan emisi yang lebih besar untuk proses transportasi bahan baku dan distribusinya. Mengonsumsi makanan berbahan lokal secara tidak langsung dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dari makanan.
Menurut survei dari Statista Consumer Insights terhadap responden berusia 18-64 tahun, sekitar satu dari empat konsumen dunia mengaku memprioritaskan daerah asal makanan ketika membelinya. Dari 21 negara yang masuk dalam survei, Swiss tercatat sebagai negara yang paling mengedepankan daerah ketika memilih makanan.
Sebanyak 45% responden dari Swiss mengaku aspek paling penting ketika membeli makanan adalah apakah makanan tersebut berbahan dasar lokal atau tidak. Makanan berbahan dasar lokal cenderung menghasilkan dampak emisi yang lebih rendah ketimbang makanan yang bahan dasarnya dibeli dari daerah lain.
Selain Swiss, 38% responden Jerman, 34% responden Prancis, dan 32% responden Italia juga sama-sama memprioritaskan makanan lokal. Sementara itu, selain daerah, responden juga mempertimbangkan terkait harga dan ketersediaan makanan.
Dampak makanan terhadap keseimbangan lingkungan memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Sektor makanan dan agrikultur menyumbang emisi karbon yang tidak sedikit turut mendorong habisnya air dan lahan di dunia. Bahkan, produksi makanan berkontribusi sebesar 26% terhadap emisi gas rumah kaca secara global.
Menurut Our World in Data via Visual Capitalist, daging sapi menyumbang emisi karbon dioksida terbesar, mencapai 99 kilogram (kg) karbon dioksida per kg. Jumlah tersebut jauh lebih masif ketimbang bahan makanan lain dalam daftar, seperti cokelat hitam (46,65 kg emisi per kg), kambing (39,72 kg emisi per kg), kopi (28,52 kg emisi per kg), udang (26,87 kg emisi per kg), hingga keju (23,88 kg emisi per kg).
Makan makanan lokal banyak disebut sebagai salah satu solusi untuk mengurangi dampak lingkungan dari makanan. Meski begitu, bukan hanya asal makanan saja yang berpengaruh, apa yang dimakan juga sangat menentukan emisi yang dihasilkan.
Sistem transportasi hanya menyumbang 5% terhadap emisi makanan, yang artinya sisanya dipengaruhi oleh aktivitas lain diluar transportasi, seperti aktivitas peternakan dan produksi. Mengonsumsi makanan yang lebih berkelanjutan dapat membantu meminimasi emisi gas rumah kaca yang secara keseluruhan membantu bumi “berumur” lebih panjang.
Baca Juga: Indonesia Jadi Penghasil Sampah Makanan Terbesar di ASEAN
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor