Masalah food waste masih terus terjadi di Indonesia. Tatkala sebagian masyarakat kesulitan mencari makan untuk menyambung hidup, sebagian lain malah membuang-buang makanannya. Miris, food waste telah menjadi salah satu isu lingkungan yang disuarakan di Indonesia, namun rakyat seolah bungkam terhadap fakta ini. Ratusan triliun sampah makanan malah terbuang, padahal jumlah tersebut bisa digunakan untuk memberi makan lebih dari 30% populasi Indonesia.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar sepertiga dari makanan yang diproduksi untuk dimakan malah berakhir hilang atau terbuang. Di Indonesia, sampah sisa makanan menyumbang kontribusi terbesar di 2023, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, totalnya mencapai 41,4%, jauh lebih tinggi ketimbang sampah plastik yang sebesar 18,6%.
Memang kesadaran akan bahayanya sampah plastik terus digemakan. Namun nyatanya, masalah yang lebih mendesak, yakni berkaitan dengan sampah makanan, cenderung kurang disuarakan. Padahal, sampah makanan juga memiliki dampak negatif.
Food Loss vs Food Waste
Selain food waste, istilah lain yang sering digunakan bersamaan adalah food loss. Keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Food loss merupakan fenomena di mana makanan hilang dalam tahap produksi, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi, sebelum mencapai tahap konsumsi. Dalam hal ini, food loss merujuk pada makanan yang hilang sebelum sampai ke konsumen. Penyebabnya bisa beragam, seperti terjadi kerusakan, tumpah, gagal panen, dan lain-lain.
Sementara itu, food waste merujuk pada makanan yang layak konsumsi yang terbuang. Jika food loss terjadi di awal rantai pasokan makanan, maka food waste terjadi di akhir, menyangkut proses distribusi dan konsumsi. Food waste dapat terjadi di rumah tangga, restoran, supermarket, dan lain sebagainya. Makanan yang terbuang di restoran akibat produksi berlebih juga termasuk food waste.
Food Waste di Indonesia
Menurut kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Waste4Change dan World Research Institute, sampah sisa makanan di Indonesia mencapai 115-184 kilogram (kg) per kapita per tahun dalam kurun 2000-2019. Apabila dimanfaatkan, sampah makanan tersebut diproyeksi akan dapat mencukupi gizi 61-125 juta warga Indonesia.
Tidak hanya itu, dampak ekonomi dari sampah makanan tersebut diperkirakan mencapai Rp213-Rp551 triliun per tahun. Tidak hanya secara ekonomi, food waste juga menyumbang rata-rata 7,29% emisi gas rumah kaca per tahun. Apabila tidak segera ditangani, timbulan sampah sisa makanan diproyeksi naik 200% dari 20 tahun silam mencapai 344 kg per kapita per tahun di 2045.
Menurut laporan United Nations bertajuk Think Eat Save yang merupakan bagian dari Food Waste Index Report 2024, Indonesia menjadi negara dengan food waste terbesar di kawasan Asia Tenggara. Jumlahnya mencapai 14,73 juta ton per tahun.
Indonesia ditaksir menghasilkan 14,73 juta ton sampah makanan dari rumah tangga per tahun, dengan tingkat kepercayaan medium. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi ketimbang Vietnam yang duduk di posisi kedua, yang tercatat menghasilkan sampah makanan rumah tangga sebesar 7,08 juta ton per tahun. Indonesia sendiri diproyeksi menghasilkan 53 kilogram sampah makanan rumah tangga per kapita per tahun. Jumlah tersebut jadi yang terendah di kawasan Asia Tenggara.
Setelah Vietnam, Thailand menduduki posisi ketiga dengan menghasilkan 6,18 juta ton sampah makanan rumah tangga per tahun. Di sisi lain, jika dilihat dari timbulan sampah makanan per kapita, maka Laos menjadi yang tertinggi, dengan total 89 kg sampah makanan rumah tangga per kapita per tahun.
Sementara itu, Brunei Darussalam menjadi negara ASEAN yang menghasilkan sampah makanan rumah tangga terendah, yakni sebesar 34,10 ribu ton per tahun. Timor Leste berada di urutan kedua dengan 104,42 ribu ton per tahun.
Food waste telah menjadi krisis global yang harus segera ditekan. Krisis pangan yang terjadi di berbagai belahan dunia harusnya bisa teratasi apabila food waste bisa diminimasi. Total sampah dari food waste padahal sejatinya dapat digunakan untuk menghidupi orang lain yang lebih membutuhkan.
Besarnya food waste juga dirasakan di provinsi di Indonesia, termasuk Jawa Barat. Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Herman Suryatman menyoroti banyaknya sampah makanan yang dihasilkan oleh penduduk provinsi tersebut, khususnya terlihat dari timbulan sampah di TPPAS Sarimukti.
"Dari 3.000 m3 atau 1.500 ton sampah per hari yang (dibuang) ke Sarimukti dari 4 kabupaten/kota di Bandung Raya, setengahnya, 50%-nya itu adalah sampah makanan," tuturnya.
Lautan sampah di Sarimukti tersebut semakin mengkhawatirkan, apalagi kapasitasnya terbatas.
"Kami mengimbau dengan segala kerendahan hati kepada warga masyarakat Bandung Raya, kita kurangi bahkan hilangkan sampah makanan dari rumah, yang dibuang dari rumah cukup sampah non makanan atau sampah anorganik saja," lanjut Herman.
Sampah makanan bukan hanya memperburuk krisis pangan, namun juga berkontribusi terhadap pemanasan global. Sampah makanan yang terbuang tidak dapat diolah karena mengandung zat yang berbahaya bagi lingkungan. Food waste, terutama yang disebabkan oleh penyajian yang berlebih dan kebudayaan menyisakan makanan atau left over, harus segera dihilangkan. Beberapa negara memang mendorong untuk menyisakan makanan yang tidak habis, yang justru berakhir di tempat pembuangan sampah. Manajemen yang baik harus diterapkan agar makanan dalam jumlah berlebih tidak diproduksi dan dibuang sia-sia begitu saja.
Mengurangi food waste harus diawali dari diri sendiri. Pola pikir yang selalu ingin membeli makanan secara berlebihan harus dihapus. Hidup dalam kecukupan, terutama berkaitan dengan makanan, bukan berarti pelit. Itu artinya, mereka sadar bahwa makanan yang dibeli memang yang sanggup dan akan dihabiskan, sehingga tidak ada yang berakhir di tempat sampah.
Selain itu, banyak pula rumah makan yang kini sengaja memberikan sisa makanannya yang tidak habis terjual di akhir hari untuk orang-orang yang membutuhkan guna mengurangi food waste. Surplus Indonesia, salah satu aplikasi pesan antar makanan, juga membantu restoran mengakomodasi makanan berlebih dengan menjualnya dengan harga yang lebih terjangkau, mendorong masyarakat luas untuk membantu membeli makanan tersebut.
Food waste pada akhirnya berakar dari komitmen pribadi. Membuang makanan bukanlah jawaban, solusi dari food waste sudah banyak tersedia di depan mata. Dengan keinginan yang kuat, setiap orang bisa membantu mengurangi food waste dengan membeli makanan secukupnya dan menyisihkan makanan berlebih.
"Zero food waste, tidak ada sampah makanan sejak dari rumah, pasti bisa," tegas Herman.
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor