Kemenangan presiden baru Korea Selatan, Yoon Suk-yeol atas kandidat lawan, Lee Jae-myung dalam Pemilu Kepresidenan pada 10 Maret 2022 lalu disebut-sebut menjadi "kemenangan bagi Korea Selatan".
Perolehan suara terbanyak Yoon Suk-yeol diraih oleh suara mengambang pemilih muda yang didominasi kalangan laki-laki berusia dibawah 30 tahun. Yoon berhasil merebut hati para pemilihnya atas janji yang digaungkannya untuk membangun jutaan rumah dengan harga terjangkau, janji yang seakan dapat menjawab kekhawatiran terbesar para kaum muda.
Tak hanya janji tersebut, Yoon menolak fakta adanya diskriminasi gender sistematis di Korea Selatan bahkan Yoon berjanji akan membubarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan jika kelak ia terpilih.
Menurutnya, kesetaraan hanya bisa dicapai jika pria dan wanita tidak lagi dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya. Ironisnya, janjinya itu terus diyakini dan membuahkan dukungan besar.
Isu kesetaraan gender sudah menjadi persoalan sulit di Korea Selatan. Namun, jika mengingat status ekonomi dan diplomatik yang berhasil diraih oleh Korea Selatan, seharusya negara yang memiliki perekonomian maju sudah memiliki kemajuan perspektif mengenai kesetaraan gender.
Pasalnya, setiap negara memiliki andil besar dalam hak menjamin kesetaraan gender setiap warganya. Serta wajib membuat aturan hukum untuk menghapus segala bentuk diskriminasi.
Sementara itu, dalam survei penilaian dari Bank Dunia (World Bank) dalam laporan Women, Bussiness, and the Law 2022 menetapkan Laos menjadi negara yang paling mampu menjamin kesetaraan gender di kawasan Asia Tenggara.
Laos berada di peringkat pertama dengan capaian skor 88,1. Disusul oleh Vietnam (85) dan Singapura (82,5). Sementara itu, di peringkat 4 dan 5 diisi oleh Kamboja dengan skor 81,3 dan Filipina dengan skor 78,8.
Thailand berada di peringkat keenam sebagai negara yang dapat menjamin kesetaraan gender di Asia Tenggara dengan perolehan skor 78,1. Kemudian, Indonesia berada di deretan ketujuh dengan skor 64,4. Diperingkat delapan hingga sepuluh besar terdapat Myanmar (58,8), Brunei Darussalam (53,1), dan Malaysia (50).
Penilaian dibuat berdasarkan ada atau tidaknya aturan hukum di tiap negara yang emnjamin kebebasan mobilitas perempuan, perlindungan dalam bekerja, kesetaraan upah, kesetaraan dalam perkawinan, pengasuhan anak, kepemilikan aset, kesempatan berbisnis, hingga tunjangan pensiun.
Skor diberikan dengan skala 0-100 yang diartikan semakin besarnya skala skor angka semakin besar negara tersebut telah memberi jaminan penuh bagi perwujudan kesetaraan gender dan perlindungan hak-hak perempupuan di wilayahnya.
Indonesia sendiri mendapat skor yang tergolong rendah karena kelemahan hukum yang dinilai belum mampu melindungi perempuan dari pelecehan di tempat kerja, menciptakan kesetaraan dalam perkawinan, pengasuhan anak, serta perkara pembagian hak waris berdasarkan gender.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya