Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Indonesia kembali memunculkan berbagai masalah dan dugaan kecurangan yang seakan menjadi rutinitas tahunan. Berbagai kasus penyalahgunaan jalur PPDB ini bukan hanya mencerminkan kelemahan dalam pelaksanaan sistem zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan prestasi, tetapi juga mengungkap realita ketimpangan akses pendidikan yang belum terselesaikan. Kecurangan-kecurangan ini meliputi manipulasi dokumen, pemalsuan nilai, hingga gratifikasi yang melibatkan orang dalam.
Menurut laporan BBC, sebanyak 51 calon siswa di Depok, Jawa Barat, dicabut penerimaannya dalam proses PPDB karena diduga melakukan manipulasi nilai rapor. Fenomena seperti "cuci rapor," perubahan data kartu keluarga, hingga pemalsuan sertifikat kejuaraan dianggap sebagai bukti adanya "kegagalan sistemik," sehingga, menurut para pengamat pendidikan, sistem PPDB perlu dievaluasi.
4 Jalur PPDB
1. Jalur Zonasi: Antara Favoritisme dan Manipulasi Alamat
Jalur zonasi diperuntukkan bagi peserta didik dengan domisili terdekat sekolah. Dengan kuota sebesar 70% untuk SD dan 50% untuk SMP serta SMA, jalur ini dirancang untuk menjamin akses pendidikan bagi siswa yang tinggal di sekitar sekolah.
Namun, kondisi nyata di lapangan berkata lain. Zonasi justru menjadi salah satu jalur yang paling rentan terhadap manipulasi. Beberapa orang tua diduga memalsukan dokumen kartu keluarga atau memindahkan alamat sementara agar anak mereka dapat masuk ke sekolah favorit.
Kasus semacam ini banyak terjadi di wilayah seperti Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jakarta, dengan modus menumpang alamat pada kartu keluarga kerabat atau bahkan menyewa tempat tinggal sementara.
2. Jalur Afirmasi: Salah Sasaran dan Data Tidak Akurat
Jalur afirmasi disediakan untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu atau penyandang disabilitas, dengan kuota sebesar 15% di setiap jenjang pendidikan. Sama seperti jalur zonasi, jalur afirmasi juga banyak disalahgunakan oleh mereka yang seharusnya tidak berhak.
Di Jawa Tengah, ditemukan peningkatan jumlah pendaftar afirmasi dengan data siswa miskin yang tidak tepat sasaran, sehingga mengurangi jatah bagi siswa dari keluarga miskin yang sebenarnya. Permasalahan ini memperlihatkan betapa pentingnya validasi data untuk memastikan jalur afirmasi benar-benar membantu anak-anak yang berhak.
Baca Juga: Daftar Masalah PPDB 2024: Isu Kecurangan Hingga Transparansi
3. Jalur Perpindahan Orang Tua: Diskriminasi dalam Implementasi
Kuota jalur perpindahan orang tua hanya sebesar 5% untuk setiap jenjang, diperuntukkan bagi siswa yang orang tuanya mengalami perpindahan tugas. Sayangnya, pelaksanaan jalur ini terkesan diskriminatif, karena terbatas hanya untuk anak-anak dari pegawai pemerintah atau perusahaan tertentu, terutama ASN dan BUMN.
Di Riau, kasus diskriminasi ini mencuat karena banyak anak dari keluarga di luar kalangan tersebut tidak mendapat akses yang sama. Sistem yang tidak merata ini perlu diperbaiki agar jalur perpindahan benar-benar melayani anak-anak yang membutuhkannya.
4. Jalur Prestasi: Pemalsuan Sertifikat dan “Cuci Rapor”
Jalur prestasi menjadi salah satu jalur paling kontroversial, dengan kuota beragam, dan persyaratan berupa nilai rapor dan prestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Di Depok, Jawa Barat, sebanyak 51 siswa dianulir karena diduga melakukan praktik “cuci rapor” atau manipulasi nilai agar dapat lolos seleksi. Sementara itu, di Semarang, 69 siswa terungkap menggunakan piagam palsu untuk mendaftar ke SMA negeri melalui jalur prestasi.
Fenomena ini menunjukkan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan jalur prestasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, hingga mencoreng prinsip kejujuran dalam dunia pendidikan.
Sementara itu, di tahun ini, berdasarkan laporan pengaduan dan pemantauan JPPI hingga 20 Juni 2024, tercatat terdapat 162 kasus kecurangan, termasuk manipulasi nilai di jalur prestasi (42%), pemalsuan kartu keluarga di jalur zonasi (21%), mutasi (7%), dan ketidakpuasan orang tua terkait jalur afirmasi (11%).
Selain itu, ada juga laporan mengenai dugaan gratifikasi (19%) melalui dua jalur tidak resmi, yaitu jual beli kursi dan jasa titipan dari pihak dalam.
Data Sekolah Semester Ganjil 2024/2025: Ada Ketimpangan Akses?
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan ketimpangan yang signifikan antara sekolah negeri dan swasta. Di jenjang SD, jumlah sekolah negeri mencapai 129.487, sedangkan swasta hanya 20.002. Ketimpangan ini terus berlanjut hingga ke jenjang SMP dengan jumlah sekolah negerinya sebanyak 24.137 sekolah sedangkan swasta hanya 19.318.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, lebih dari 10,52 juta siswa mengalami diskriminasi karena harus bersekolah di institusi swasta yang memungut biaya.
”Akibatnya, masyarakat harus sikut-sikutan menghalalkan segala cara untuk memenangi PPDB dengan sistem kompetisi berbalut zonasi dan prestasi ini,” ucap Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji di Jakarta, Senin (24/6/2024) seperti yang dikutip dari Kompas.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan Badan Pusat Statistik (BPS), angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di Indonesia masih cukup tinggi. Sebanyak 0,67% anak tidak sekolah di tingkat SD, 6,93% di tingkat SMP, dan 21,61% di tingkat SMA/SMK. Dengan ATS yang diperkirakan mencapai tiga juta anak, sistem PPDB yang diskriminatif semakin memperlebar kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta.
Ubaid turut menambahkan bahwa permasalahan PPDB ini bukan sekadar soal teknis, melainkan sebuah "kegagalan sistemik" yang memerlukan reformasi mendalam.
“Jadi ini kegagalan sistemik dalam bagaimana hak anak untuk mendapatkan pendidikan itu dijamin. Jadi kita jatuh di lubang yang sama ini, sampai kapan harus diulang-ulang?” tanya Ubaid.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah kolaborasi antara pemerintah dan sekolah swasta untuk menambah daya tampung dan menjamin akses pendidikan yang merata. Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menambahkan bahwa peningkatan jumlah sekolah negeri harus menjadi prioritas utama untuk mengurangi praktik jual beli kursi yang marak terjadi di setiap musim PPDB.
”Tidak bisa tidak, ke depannya akses sekolah murah ini diperluas. Salah satunya dengan mengandeng penyelenggara pendidikan dari kalangan swasta untuk mendukung wajib belajar sesuai amanat undang-undang,” usul Huda.
Baca Juga: Cek Jadwal dan Kuota PPDB 2024: Kuota Zonasi Mencapai 70%
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor