Tax Amnesty atau pengampunan pajak merupakan kebijakan yang memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan kembali kewajiban pajaknya dengan imbalan penghapusan sanksi tertentu. Kebijakan ini umumnya diterapkan untuk memperbaiki kepatuhan pajak sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Indonesia sendiri sudah beberapa kali memberlakukan Tax Amnesty dengan tujuan yang berbeda sesuai kondisi ekonomi pada masanya. Sejak 1964 hingga wacana terbaru di 2025, Tax Amnesty menjadi strategi penting dalam menjaga stabilitas fiskal negara.
Sejarah Tax Amnesty di Indonesia
Indonesia telah memberlakukan berbagai program Tax Amnesty sejak 1964 untuk memperkuat penerimaan negara. Program pertama digagas Presiden Soekarno dengan tujuan mengembalikan dana revolusi, lalu dilanjutkan pada 1984 di era Presiden Soeharto sebagai respon atas turunnya harga minyak.
Pada 2008, pemerintah meluncurkan Sunset Policy yang berhasil menarik partisipasi 5,4 juta wajib pajak dan menambah penerimaan pajak sebesar Rp7,46 triliun.
Di era Presiden Joko Widodo, Tax Amnesty Jilid I berlangsung tahun 2016 - 2017 dan berhasil mencatatkan pengungkapan aset oleh lebih dari 956.000 wajib pajak.
Selanjutnya, Tax Amnesty Jilid II melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS) digelar pada 2022 untuk menargetkan aset yang belum terlapor.
Tahun 2025, wacana Tax Amnesty Jilid III kembali muncul dalam Prolegnas sebagai strategi lanjutan untuk memperbaiki sistem perpajakan nasional.
Dari penjelasan tersebut, Indonesia sudah memberlakukan tax amnesty sebanyak 5 kali sejak tahun 1964 hingga 2025.
Tarif dan Mekanisme Tax Amnesty
Tarif Tax Amnesty di Indonesia ditentukan berdasarkan periode pelaporan dan kategori harta yang diungkapkan. Berdasarkan PER-11/PJ/2016 yang ditetapkan dalam mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak berlangsung dalam tiga periode sebagai berikut:
- Periode I : 1 Juli - 30 September 2026
- Periode II : 1 Oktober - 31 Desember 2016
- Periode III : 1 Januari - 31 Maret 2017
Dari tahun 2016 sampai tahun 2017, tarif tebusan ditetapkan mulai dari 2% hingga 10%, semakin cepat wajib pajak melapor maka semakin rendah tarifnya. Pada Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tahun 2022, tarif berkisar antara 6% hingga 11% untuk harta dalam negeri dan 8% hingga 18% untuk harta luar negeri yang tidak direpatriasi.
Mekanisme program ini mengharuskan wajib pajak mengungkapkan harta yang belum dilaporkan melalui surat pernyataan ke Direktorat Jenderal Pajak. Pembayaran tebusan dilakukan berdasarkan nilai wajar harta yang diungkapkan dan wajib dilunasi sebelum surat keterangan amnesti diterbitkan.
Setelah itu, harta yang direpatriasi ke Indonesia wajib diinvestasikan dalam jangka waktu minimal tiga tahun sesuai ketentuan pemerintah. Dengan mekanisme tersebut, Tax Amnesty tidak hanya memberi keringanan berupa penghapusan sanksi, tetapi juga mendorong dana luar negeri kembali ke Indonesia.
Hasil Penerimaan Pajak
Sejak 1964 hingga rencana terbaru 2025, program Tax Amnesty di Indonesia telah mengalami berbagai dinamika. Namun, tidak semua periode menghasilkan catatan penerimaan pajak yang terukur karena sebagian besar hanya mencatat tujuan dan pelaksanaannya.
Capaian nyata terlihat pada Sunset Policy 2008, yang dimanfaatkan oleh 5,4 juta Wajib Pajak dan menambah penerimaan negara hingga Rp7,46 triliun. Selanjutnya, Tax Amnesty Jilid 1 tahun 2016 - 2017 berhasil menarik lebih dari 956.000 Wajib Pajak untuk mengungkapkan aset, meski angka detail penerimaan tidak tercatat dalam infografik. Sementara itu, Tax Amnesty Jilid 2 tahun 2022 lebih fokus pada pengungkapan aset lanjutan, namun belum tersedia data hasil penerimaannya.
Adapun rencana Tax Amnesty 2025 masih menjadi perdebatan politik sehingga hasilnya belum dapat dipastikan. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa program Tax Amnesty tetap berperan penting dalam memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara, meski efektivitasnya bervariasi di setiap periode.
Apa Saja Dampak Dari Tax Amnesty?
Program Tax Amnesty memberikan dampak penting bagi pemerintah dan Wajib Pajak, terutama dalam menambah penerimaan negara melalui pembayaran tebusan serta memperluas basis pajak.
Kebijakan ini juga mendorong kepatuhan dengan memberi kesempatan melaporkan aset tanpa sanksi administratif atau pidana. Bagi dunia usaha, Tax Amnesty membantu membersihkan pembukuan dan memperkuat transparansi kepatuhan pajak.
Namun, di sisi lain, program ini menimbulkan pro-kontra karena dinilai berpotensi menciptakan moral hazard dalam sistem perpajakan.
Bagaimana Kondisi Terkini Tax Amnesty di Indonesia?
Kondisi terkini program Tax Amnesty di Indonesia masih menjadi perdebatan, terutama terkait wacana jilid III yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Menteri Keuangan Purbaya menilai kebijakan ini bukan langkah ideal karena berisiko menurunkan kepatuhan pajak jangka panjang.
Meskipun banyak perdebatan, program sebelumnya telah mencatat capaian signifikan, seperti Tax Amnesty jilid I tahun 2016 - 2017 yang berhasil menghimpun Rp114,02 triliun uang tebusan dari 956.000 Wajib Pajak. Pada jilid II tahun 2022, negara memperoleh tambahan Rp60 triliun dengan pengungkapan harta Rp572,48 triliun.
Menteri Keuangan Purbaya mengingatkan manfaat jangka pendek ini tidak sebanding dengan potensi moral hazard yang muncul di masa depan. Oleh karena itu, arah kebijakan pajak ke depan diharapkan lebih fokus pada reformasi sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Tax Amnesty di Indonesia membuktikan bahwa menambah penerimaan negara dan memperluas basis pajak meskipun hasilnya bervariasi di tiap periode. Tetap memiliki kebijakan yang menimbulkan risiko moral hazard sehingga reformasi perpajakan jangka panjang menjadi solusi yang lebih berkelanjutan.
Baca Juga: Mengenal 22 Tokoh Dunia di Dewan Penasihat Bloomberg New Economy 2025
Sumber:
https://pajak.go.id/en/node/18464
Penulis: Angel Gavrila
Editor: Muhammad Sholeh