Pola pikir “banyak anak, banyak rezeki” merupakan prinsip yang menyamakan anak dengan sumber rezeki untuk memperbaiki kualitas hidup. Namun, pemikiran ini sering kali tidak disertai dengan bekal pemahaman dan persiapan yang matang dalam memiliki anak. Pada akhirnya, anak menjadi terlantar dan terpaksa harus bekerja demi memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga.
Mengutip Kompas, Pakar Perencanaan Keuangan dan CEO Finante.id Rista Zwestika CFP mengatakan, tak peduli berapa pun jumlah keturunan yang ingin dimiliki, setiap calon orang tua harus memiliki perencanaan yang matang dari segi keuangan. Dengan adanya bekal tersebut, setiap anak yang lahir dapat memiliki kualitas hidup dan masa depan yang baik.
Namun nyatanya, hingga saat ini, masih banyak anak-anak yang hidupnya terlantar, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, Mereka terpaksa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran terkait pemikiran “banyak anak, banyak rezeki” yang akhirnya malah berujung dengan eksploitasi anak.
Eksploitasi Pekerja Anak Menurut Undang-Undang
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 68, anak yang usianya di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan oleh perusahaan. Apabila melanggar, perusahaan dapat dipidana penjara 1-4 tahun, dan/atau denda Rp100-Rp400 juta.
Adapun United Nations International Children’S Emergency Fund (UNICEF) telah menetapkan beberapa kriteria eksploitasi terhadap anak yang bekerja, di antaranya:
- Menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis.
- Upah yang tidak mencukupi.
- Tanggung jawab terlalu banyak.
- Pekerjaan menghambat akses pendidikan.
- Pekerjaan mengurangi martabat dan harga diri anak.
- Pekerjaan merusak perkembangan sosial dan psikologis.
Eksploitasi Pekerja Anak di Indonesia Masih Marak Terjadi
Di Indonesia, eksploitasi pekerja anak masih menjadi masalah serius. Meskipun terdapat undang-undang yang melarang praktik pekerja anak, nyatanya masih banyak anak yang terlibat dalam suatu pekerjaan atau bahkan, dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak memadai dengan minimnya akses pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan data di atas, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Utara menjadi provinsi dengan kasus eksploitasi pekerja anak umur 10-17 tahun terbanyak di Indonesia, meski angkanya menurun signifikan setiap tahunnya.
Selanjutnya, terdapat Sumatra Utara dan Nusa Tenggara Barat yang juga menunjukkan tren penurunan setiap tahunnya. Menurut data terbaru, Sumatra Utara memiliki persentase sebesar 3,97%, sedangkan Nusa Tenggara Barat di angka 3,86%.
Lalu, di posisi keempat ada Papua Barat, dengan persentase 3,81% pada 2021 dan menurun menjadi 2,82% pada 2022. Dalam rentang satu tahun tersebut, Papua Barat berhasil menekan angka eksploitasi pekerja anak. Namun pada tahun 2023, terjadi peningkatan menjadi sebesar 3,07%.
Beralih ke Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, persentase pekerja anak sempat meningkat pada tahun 2022, tetapi kembali menurun pada tahun 2023. Terakhir, terdapat DKI Jakarta dengan akumulasi angka eksploitasi pekerja anak terendah, yakni sebesar 2.01%.
Isu eksploitasi pekerja anak nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia, beberapa negara di belahan dunia juga mengalami hal serupa. Mengutip International Labour Organization (ILO), eksploitasi pekerja anak masih menjadi masalah yang terus-menerus terjadi di dunia saat ini. Menurut data perkiraan global terbaru, terdapat 160 juta anak – 63 juta perempuan dan 97 juta anak laki-laki – yang menjadi pekerja anak pada awal 2020 lalu.
Tidak Hanya Indonesia, Eksploitasi Pekerja Anak Terjadi di Lingkup Global
Di sub-Sahara Afrika, kesejahteraan anak terbukti sulit dicapai apabila melihat peningkatan persentase secara signifikan sejak tahun 2008. Lalu, di Asia Pasifik dan Amerika Latin, eksploitasi pekerja anak cenderung menurun selama empat tahun terakhir.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual Capai 6 Ribu Per Tahun, Bagaimana Peran Pemerintah?
Pandemi Menjadi Mimpi Buruk Bagi Masa Depan Anak-anak
Salah satu penyebab meningkatnya eksploitasi pekerja anak adalah pandemi Covid-19. Sejak 2020 lalu, pandemi sangat mengguncang kelompok menengah ke bawah karena menghilangkan pekerjaan dan meningkatkan kemiskinan, sehingga terjadilah eksploitasi pekerja anak.
Mengutip ILO, setiap kenaikan kemiskinan sebesar 1 poin persentase akan menyebabkan peningkatan pekerja anak sebesar 0,7 poin persentase. Sama halnya dengan Indonesia, perubahan segala sistem saat pandemi Covid-19 membuat anak rentan mengalami eksploitasi, mulai dari ranah seksual, hingga ekonomi.
Mengutip Kompas, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19 menempatkan anak-anak dalam kondisi yang sangat rentan.
Terdapat beberapa tantangan baru akibat pandemi, khususnya dalam hal perlindungan anak, seperti kesenjangan dan ketersediaan lembaga layanan, hingga pola pengasuhan dan kemampuan literasi digital orang tua.
Peran Pemerintah dan Orang Tua Sangat Penting untuk Menekan Angka Eksploitasi Pekerja Anak
Isu eksploitasi anak telah menjadi masalah global yang mengancam hak dan kesejahteraan anak di seluruh dunia. Eksploitasi anak memiliki dampak jangka panjang yang merugikan, anak-anak akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan membatasi peluang untuk keluar dari kemiskinan.
Berdasarkan fenomena eksploitasi pekerja ini, Irwanto, seorang psikolog dan anggota Panitia Pengarah Konferensi Nasional Perlindungan Anak 2022, mengatakan bahwa pemerintah perlu kembali merumuskan komitmen baru dalam kebijakan perlindungan anak dan meningkatkan partisipasi masyarakat.
Selain itu, mengutip ILO, perlu adanya pelayanan sosial yang berdedikasi dan berkualitas untuk mendukung anak-anak dan keluarga dalam mengentaskan kemiskinan, mengidentifikasi dan mengelola risiko, dan memfasilitasi akses terhadap hal-hal penting layanan sosial.
Upaya-upaya tersebut harus diperluas dan diimplementasikan dengan cepat untuk mendeteksi pola-pola baru yang akan muncul nantinya. Dengan begitu, apabila angka eksploitasi anak masih terus meningkat, pemerintah dan lembaga sosial mampu menanganinya dengan tepat dan sigap.
Setiap elemen yang terlibat, baik pemerintah maupun orang tua diharapkan mampu terus bekerja sama untuk terus mengusahakan masa depan dan kualitas hidup anak-anaknya.
Baca Juga: Perdagangan dan Eksploitasi Anak Meningkat Pesat Sepanjang 2021
Penulis: Zakiah machfir
Editor: Editor