Jadi Negara Agraris, Mengapa Indonesia Masih Impor Komoditas Perkebunan?

Gula tebu menjadi komoditas perkebunan dengan volume impor terbesar pertengahan awal 2025, dengan total impor mencapai 1,6 juta ton.

Jadi Negara Agraris, Mengapa Indonesia Masih Impor Komoditas Perkebunan? Potret perkebunan tebu | Joao Lima/Pixabay
Ukuran Fon:

Warga negara Indonesia mesti sudah tidak asing dengan sebutan Indonesia sebagai negara agraris. Julukan tersebut datang beriringan dengan fakta bahwa Indonesia memiliki lahan yang luas untuk digarap dalam kegiatan pertanian. Rakyat Indonesia yang tinggal di daerah subur juga cenderung mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama.

Namun sayangnya, terdapat paradoks bahwa Indonesia masih mengimpor sejumlah hasil perkebunan di samping julukannya sebagai negara agraris. Hal tersebut menyisakan tanda tanya, mengapa negara dengan lahan pertanian subur ini masih mengimpor hasil perkebunan dari negara lain?

Sederhananya, produksi dalam negeri masih belum bisa menutup kebutuhan masyarakat, baik untuk Industri maupun konsumsi harian. Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam mengoptimasi hasil panennya, mulai dari keterbatasan lahan pertanian, perubahan iklim, serta infrastruktur irigasi yang kurang memadai.

Kondisi ini diperparah oleh produktivitas yang cenderung stagnan di tingkat petani, sehingga hasil panen tidak mampu mengimbangi kebutuhan yang terus meningkat. Di sisi lain, pertumbuhan populasi dan perubahan pola konsumsi juga menambah tekanan terhadap produksi komoditas perkebunan domestik, menjadikan ketahanan pangan semakin rentan.

Terdapat beberapa komoditas pertanian dengan volume impor tertinggi di Indonesia.

Gula, kapas, dan kakao menjadi 3 komoditas perkebunan dengan volume impor tertinggi di awal 2025 | GoodStats

Sepanjang Januari hingga Mei 2025, gula tebu mendominasi daftar komoditas impor dengan volume mencapai 1,6 juta ton. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan komoditas lain, menegaskan peran gula tebu sebagai salah satu kebutuhan utama yang tidak bisa dipenuhi hanya dari produksi dalam negeri.

Di posisi berikutnya, kapas menempati urutan kedua dengan volume impor 167 ribu ton, disusul oleh kakao sebanyak 138 ribu ton. Komoditas lain yang juga memiliki angka cukup tinggi adalah tembakau dengan 88 ribu ton serta karet sebesar 29 ribu ton. Sementara itu, impor kopi dan kelapa relatif lebih kecil, masing-masing sebesar 19 ribu ton dan 16 ribu ton.

Tiga komoditas terakhir dalam daftar sepuluh besar adalah teh dengan 4,8 ribu ton, kacang mete sebesar 4,1 ribu ton, dan kelapa sawit sebanyak 3,9 ribu ton. Perbandingan ini memperlihatkan ketimpangan yang cukup lebar, di mana gula tebu sangat dominan dibandingkan komoditas lainnya, sementara sebagian besar komoditas lain berada di kisaran puluhan ribu hingga ribuan ton saja.

Baca Juga: Indonesia Masih Impor Susu dalam Jumlah Besar

Sumber:

https://satudata.pertanian.go.id/

Penulis: Faiz Al haq
Editor: Editor

Konten Terkait

Pembayaran Digital Jadi Favorit, Payment ID Picu Kepanikan

Payment ID menuai kekhawatiran privasi, padahal pembayaran digital kini banyak digunakan.

Efek PPATK Blokir Rekening Dormant, Transaksi Judol Turun Drastis

Setelah PPATK blokir 122 juta rekening dormant, ditemukan adanya penurunan drastis transaksi judi online sepanjang Semester I 2025.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook