Sejak tahun 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan pengukuran tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia melalui Survei Tingkat Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali.
Pengukuran indeks kebahagiaan ini dilakukan sebagai salah satu langkah untuk menambal celah dalam indikator ekonomi makro yang tidak mampu mengukur tingkat kemakmuran (welfare) maupun kesejahteraan (well-being) penduduk secara nyata.
Pengukuran indeks kebahagiaan di Indonesia terdiri dari 3 indikator yakni kepuasan hidup (life satisfaction) baik personal maupun sosial, perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia). Terminologi kebahagiaan sendiri lebih dipilih oleh karena konstruk instrumen survei didasarkan pada kondisi objektif dan tingkat kesejahteraan subjektif.
Adapun indeks kebahagiaan nasional ialah sebesar 71,49 dari skala 0 hingga 100. Perolehan ini naik sebesar 0,80 poin bila dibandingkan hasil survei sebelumnya pada tahun 2017 yang memiliki skor indeks sebesar 70,69.
Dimensi kepuasan hidup memperoleh skor indeks tertinggi di antara dimensi lainnya yakni sebesar 75,16. Kemudian dimensi perasaan memperoleh skor indeks sebesar 65,61 dan terakhir dimensi makna hidup memperoleh skor indeks sebesar 73,12.
Maluku Utara konsisten jadi provinsi paling bahagia di Indonesia
Maluku Utara berhasil jadi provinsi paling bahagia di Indonesia dengan raihan skor indeks sebesar 76,34 pada tahun 2021. Maluku Utara berhasil mempertahankan predikat provinsi paling bahagia, setelah pada periode sebelumnya yakni tahun 2017 Maluku Utara juga jadi yang tertinggi dengan skor indeks sebesar 75,68.
Posisi ke-2 diraih oleh Provinsi Kalimantan Utara dengan indeks kebahagiaan sebesar 76,33 dan Maluku menempati posisi ke-3 dengan indeks kebahagiaan sebesar 76,28.
Posisi ke-4 dan ke-5 diraih oleh Jambi dan Sulawesi Utara dengan skor indeks kebahagiaan masing-masing sebesar 75,17 dan 74,96 pada tahun 2021.
Di sisi lain, Banten berada di posisi terakhir dengan indeks kebahagiaan sebesar 68,08, diikuti Bengkulu serta Papua di posisi berikutnya dengan skor indeks masing-masing sebesar 69,74 dan 69,87. Dari daftar 10 provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi, provinsi asal Pulau Jawa sama sekali tidak masuk dalam daftar.
Menilik data indeks kebahagiaan di tiap provinsi, peningkatan indeks kebahagiaan terjadi pada beberapa provinsi walaupun di antaranya ada yang justru mengalami penurunan dibandingkan hasil survei pada tahun 2017.
Tiga provinsi dengan peningkatan indeks kebahagiaan terbesar tahun 2021 diraih oleh Jambi dengan kenaikan sebesar 4,72 poin. Kemudian disusul oleh Sulawesi Barat dengan peningkatan sebesar 3,44 poin. Terakhir Kalimantan Utara memperoleh kenaikan indeks kebahagiaan sebesar 3,00 poin.
Sementara beberapa provinsi yang mengalami penurunan indeks kebahagiaan di antaranya ialah Aceh, Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu, DKI Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Timur.
Menghargai sesama dan makna hidup jadi kunci kebahagiaan
Meskipun menjadi salah satu provinsi dengan tingkat produk domestik bruto regional (PDRB) yang cukup rendah, nyatanya Maluku Utara menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan penduduk tidak selalu linear dengan sektor ekonomi.
M. Sairi Hasbullah selaku Deputi Bidang Satistik Sosial BPS pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa variabel yang terkait dengan hubungan sosial dan makna hidup sangat menonjol di Maluku Utara.
Penduduk Maluku Utara yakin bahwa diri mereka lebih berharga daripada hal yang lain, sehingga pengukuran tingkat kesejahteraan tidak didasarkan oleh ukuran produk domestik bruto.
Lebih lanjut Sairi menuturkan bahwa meskipun tinggal di daerah terpencil, jika masyarakat merasa hidupnya berharga dan memperoleh dukungan dari komunitas di sekelilingnya, maka masyarakat tersebut akan memiliki indeks kebahagiaan yang tinggi.
Di sisi lain, Hatib Abdul Kadir selaku antropolog Universitas Brawijaya, melansir dari Katadata.co.id mengungkapkan bahwa setidaknya ada 6 hal yang mendorong orang Maluku Utara dinilai paling bahagia di Indonesia.
Faktor pertama yakni kondisi emosional serta kesejahteraan sosial salah satunya terbebas dari ancaman kehilangan pekerjaan secara mendadak.
Hatib menjelaskan bahwa ancaman pemecatan sepihak kemungkinkannya sangat kecil di Maluku Utara karena para pekerja serta pemilik sektor industri rumah tangga di Maluku Utara memiliki relasi keluarga.
Hal ini diperkuat dengan tingkat pengangguran terbuka di Maluku Utara yang tergolong rendah yakni sebesar 4,98 persen pada Februari 2022, di bawah rata-rata nasional yakni sebesar 5,83 persen mengutip dari BPS.
Raihan ini turun sebesar 0,08 persen dibandingkan secara year-on-year (YoY) dengan periode Februari 2021.
Selain itu, Maluku Utara juga tergolong provinsi dengan persentase penduduk miskin yang rendah yakni sebesar 6,38 persen per September 2021, menempatkannya di posisi ke-9 berdasarkan data BPS.
Faktor kedua yakni kultur masyarakat di Maluku Utara cenderung egalitarian, terbuka, dan tidak terikat oleh aturan yang kaku menyebabkan warganya dapat berekspresi secara terbuka tanpa khawatir.
Faktor ketiga, yakni kedekatan dengan alam berkat geografis Maluku Utara yang menjadikan jarak antara pantai serta gunung tidak berjauhan.
Selain sebagai rekreasi, kedekatan jarak antar pantai dan gunung memungkinkan penduduk Maluku Utara untuk memiliki 2 profesi sekaligus di 2 daerah yang berbeda.
Faktor keempat, yakni kedekatan dengan keluarga. Keluarga dan marga merupakan pengikat paling kuat bagi masyarakat Maluku Utara. Ikatan inilah yang menjadi jembatan untuk memperluas jaringan sosial serta ekonomi di Maluku Utara.
Faktor kelima, sering ke tempat ibadah. Selain sebagai tempat memanjatkan doa, tempat ibadah juga menjadi tempat silaturahmi serta berbagi informasi antarsesama.
Faktor keenam dan terakhir, yakni faktor sosial lainnya yang tidak berhubungan langsung, seperti angka perceraian di Maluku Utara yang rendah.
Berdasarkan data BPS, angka talak dan perceraian di Maluku Utara dapat dikatakan cukup rendah yakni sebanyak 948 pasangan berdasarkan data termutakhir tahun 2016. Raihan ini menempatkan Maluku Utara di posisi ke-8 provinsi dengan tingkat perceraian terendah di Indonesia.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya