Judi online kini menjadi salah satu fenomena sosial paling meresahkan di Indonesia, dengan jumlah pemain aktif mencapai 16,3 juta orang. Sepanjang tahun 2024, PPATK mencatat sebanyak 209,5 juta transaksi terkait judi online dengan total perputaran dana fantastis sebesar Rp359,8 triliun.
Dari total pemain tersebut, sekitar 60% di antaranya melakukan transaksi melalui perbankan dan e-wallet dengan rata-rata deposit mencapai Rp26,9 juta per pemain, sementara sisanya menggunakan QRIS dengan nilai deposit rata-rata sebesar Rp24,4 juta.
Data ini mengindikasikan skala ekonomi aktivitas judi online yang masif serta potensi risiko keuangan dan sosial yang menyertainya. Mirisnya, pelaku judi online justru sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat dengan pendapatan yang terbilang rendah, bahkan di bawah UMR.
Laporan PPATK menunjukkan bahwa masyarakat dengan pendapatan per bulan di bawah Rp1 juta justru menggunakan hampir 70% pendapatannya untuk bermain judi online, disusul oleh masyarakat dengan pendapatan Rp1-2 juta per bulan yang menggunakan 41,35% pendapatannya untuk bermain judi online.
Melihat masifnya angka ini, judi online telah menjadi masalah yang signifikan pada sejumlah masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah. Tak hanya berdampak secara ekonomi, seperti menumpuknya utang dan terganggunya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, judi online juga membawa konsekuensi sosial yang berat.
Salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya konflik dalam rumah tangga, terutama bagi pelaku judi yang sudah menikah. Ketidakstabilan ekonomi akibat kecanduan berjudi kerap memicu pertengkaran, hilangnya kepercayaan, hingga berujung pada perceraian.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tren kasus perceraian di Indonesia selama lima tahun terakhir cenderung fluktuatif. Namun, kasus perceraian akibat judi justru mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun.
Tahun 2020, kasus perceraian di Indonesia sebesar 291 ribu kasus dan 648 di antaranya disebabkan oleh judi. Kemudian hanya dalam tiga tahun, yakni pada 2023 kasus perceraian yang disebabkan oleh judi sudah mencapai dua kali lipatnya (1.572 kasus).
Pada tahun 2024, dari 399 ribu kasus perceraian di Indonesia, 2.889 kasus disebabkan oleh judi. Meskipun persentasenya terbilang kecil, lonjakan jumlah kasus perceraian yang dipicu oleh judi menandakan adanya perubahan serius dalam dinamika konflik rumah tangga.
Mempertimbangkan luasnya dampak negatif dari perjudian online, Presiden Prabowo melalui Laporan Tahunan PPATK 2024 telah menginstruksikan pembentukan Desk Pemberantasan Perjudian Daring, yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, termasuk PPATK.
Sebagai langkah pencegahan, PPATK bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi Digital dan operator seluler untuk mengirimkan SMS Broadcast ke nomor-nomor handphone yang terdeteksi pernah digunakan untuk berjudi online. Pesan ini berupa peringatan tentang risiko hukum dan ancaman pidana bagi siapa pun yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya bersama untuk membatasi penyebaran judi online dan mengingatkan masyarakat akan bahaya dan konsekuensinya. Harapannya, masyarakat bisa lebih sadar dan memilih menjauh dari praktik judi online demi menjaga kehidupan yang lebih aman dan sehat, baik secara ekonomi maupun sosial.
Baca Juga: 7 Provinsi dengan Kasus Perceraian Akibat Judi Tertinggi 2024, Jawa Timur Teratas
Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=c3Jd_7Tw8Rk
https://www.ppatk.go.id/publikasi/read/256/laporan-tahunan-ppatk-tahun-2024.html
https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/YVdoU1IwVmlTM2h4YzFoV1psWkViRXhqTlZwRFVUMDkjMyMwMDAw/jumlah-perceraian-menurut-provinsi-dan-faktor-penyebab-perceraian--perkara-.html?year=2024
Penulis: Elfira Maya Shofwah
Editor: Editor