Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) merupakan salah satu agenda besar pemerintah Indonesia dalam menyasar jantung perekonomian desa. Program ini merupakan bagian dari visi Prabowo subianto dalam mengangkat peran desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan, ketahanan pangan, dan urbanisasi.
Namun dibalik ambisi positif yang dibawa, banyak publik Indonesia yang merasakan adanya potensi korupsi dalam program ini.
Apa Itu Koperasi Desa Merah Putih?
Koperasi Desa Merah Putih merupakan program pendirian koperasi multifungsi di lebih dari 70 ribu desa di seluruh Indonesia, guna mengurangi ketimpangan ekonomi antara kota dan desa.
Pembangunan koperasi ini antara lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan UMKM desa. Koperasi ini nantinya akan membeli langsung hasil pertanian warga desa dan kemudian dapat disimpan dalam cold storage. Petani pun tidak lagi harus menjual hasil panen dengan harga rendah.
Selain itu, koperasi ini bertujuan untuk mengendalikan harga pangan dan distribusi dengan memangkas mata rantai distribusi pangan yang terlalu panjang. Dengan puluhan ribu koperasi baru, program ini ditaksir dapat membuka lapangan kerja baru sekaligus meningkatkan layanan publik.
Potensi Korupsi
Sumber pendanaan program ini berasal dari dana desa, perbankan Himbara (seperti BRI, Mandiri, hingga BNI), dan dukungan APBD serta APBN. nantinya, tiap desa ditargetkan memiliki koperasi dengan dana awal sebesar Rp1-5 miliar untuk lima tahun ke depan.
Menurut survei dari Center of Economic and Law Studies (Celios), sebanyak 65% perangkat desa meyakini adanya potensi korupsi dalam pengelolaan Koperasi Desa Merah Putih ini. Sementara itu, hanya 19% yang yakin tidak ada potensi korupsi dan 17% responden lain memilih tidak tahu.
Menurut peneliti Celios, transparansi jadi isu utama yang perlu digarisbawahi. Anggaran untuk program ini sangat besar, namun pengawasan dan mekanisme transparansinya dinilai masih sangat minim. Akuntabilitas yang kurang juga dinilai dapat menciptakan celah bagi penyimpangan anggaran dan intervensi politik.
"Proyek ini berpotensi menjadi bancakan baru bagi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari skema anggaran desa, mengulangi pola-pola korupsi dan penyelewengan dana seperti yang pernah terjadi pada proyek-proyek nasional bermasalah," tulis laporan tersebut.
Mengenai sumber biaya, 76% perangkat desa juga menolak pembiayaan Kopdes Merah Putih dengan dana desa.
“Tuntutan kami sederhana supaya program titipan pusat itu harus juga diikuti dengan anggarannya. jangan malah menggerus dana desa,” ungkap salah seorang perangkat desa di NTB.
“Pemerintah desa dipaksa menanggung risiko pembiayaan tanpa memiliki kontrol penuh terhadap proses pengambilan keputusan dan pengelolaan koperasi. Kopdes MP justru menempatkan desa dalam posisi subordinat terhadap skema utang nasional,” lanjut laporan tersebut.
Selain masalah skema biaya dan isu korupsi, 46% perangkat desa mengaku khawatir akan potensi munculnya konflik sosial, 35% responden mencium adanya kepentingan politik di balik pendirian program ini. Kopdes Merah Putih berpotensi dimobilisasi sebagai alat politik, dengan potensi pengaruh elektoral mencapai 46 kursi legislatif.
Celios turut memproyeksi potensi kebocoran anggaran dari Kopdes Merah Putih bisa mencapai Rp60 juta per desa per tahun, dengan 6,8% dana desa berisiko mengalir ke sektor ekonomi bawah tanah.
Adapun survei ini dilakukan terhadap 108 responden yang merupakan perangkat desa di 34 provinsi di Indonesia pada 3-20 Mei 2025, dengan pendekatan kuantitatif dan metode multistage random sampling.
Saat ini, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyebutkan sudah ada 71,2 ribu Kopdes yang terbentuk dari target 80 ribu unit.
Baca Juga: Pilihan Bank yang Dipercaya Masyarakat Indonesia untuk Menyimpan Tabungan
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor