Dalam beberapa tahun terakhir, industri perhotelan di Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah terpukul keras oleh pandemi COVID-19. Namun, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap sektor ini, terutama di tengah tingkat okupansi yang belum sepenuhnya pulih. Pelaku industri perlu memahami tantangan ini dan mempersiapkan strategi untuk tetap bertahan.
Okupansi Hotel Masih di Bawah Tingkat Sebelum Pandemi
Data Tingkat Penghunian Kamar (TPK) dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tantangan yang masih dihadapi sektor perhotelan. TPK mencerminkan okupansi, yaitu perbandingan antara jumlah malam kamar yang terpakai dengan malam kamar yang tersedia.
Pada 2019, TPK hotel berbintang mencapai 54,81%, tetapi menurun tajam selama pandemi. Meskipun ada peningkatan bertahap sejak 2021, TPK hotel berbintang pada 2023 hanya mencapai 51,12%, masih lebih rendah dibandingkan tingkat sebelum pandemi. Hotel non-bintang mengalami penurunan lebih tajam, dengan TPK turun dari 31,48% pada 2019 menjadi 24,35% pada 2023.
Tingkat okupansi yang belum optimal ini menunjukkan bahwa sektor perhotelan masih dalam fase pemulihan. Laju pemulihan yang lambat memperlihatkan bahwa sektor ini membutuhkan dukungan tambahan untuk mencapai tingkat sebelum pandemi.
Meski begitu, tren positif TPK memberikan harapan untuk perbaikan. Peningkatan ini menandakan adanya kepercayaan bertahap dari wisatawan, didukung oleh pembatasan mobilitas yang semakin longgar serta aktivitas pariwisata domestik yang terus membaik.
Tren Perjalanan Wisatawan Domestik: Harapan di Tengah Pemulihan
Wisatawan domestik memainkan peran penting dalam mendukung tingkat okupansi hotel, terutama setelah pandemi menyebabkan penurunan drastis jumlah wisatawan internasional. Dengan mobilitas yang semakin membaik dan minat masyarakat terhadap perjalanan dalam negeri yang kembali meningkat, sektor ini menunjukkan tren positif yang dapat menjadi landasan kuat untuk pertumbuhan ke depan.
Data BPS menunjukkan bahwa jumlah perjalanan wisatawan domestik meningkat secara bertahap sejak 2021. Selama tiga kuartal pertama 2024, jumlah perjalanan wisata domestik mendekati total perjalanan sepanjang 2023. Tren ini mengindikasikan adanya momentum yang menjanjikan untuk memperkuat sektor pariwisata dan perhotelan.
Namun, kenaikan PPN menjadi 12% dapat memengaruhi biaya operasional hotel. Melansir CNBC Indonesia, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Legal PHRI Krishnadi Kartawidjaja menyatakan bahwa kenaikan PPN ini dikhawatirkan akan berdampak pada lonjakan biaya operasional. Efek ini tidak dapat sepenuhnya diteruskan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga, karena berisiko menurunkan minat masyarakat terhadap layanan hotel.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono memperkuat pernyataan tersebut. Ia menjelaskan bahwa hotel berbintang mungkin mampu menyerap sebagian dampak kenaikan PPN karena konsumen di segmen ini cenderung kurang sensitif terhadap perubahan harga.
"Soal hotel itu kan suplainya macam-macam ya, yang suplai ke hotel dan restoran itu, dan itu pasti kena PPN semua," papar Sutrisno dalam Liputan6.
Namun, hotel non-bintang menghadapi tantangan lebih besar, mengingat konsumennya lebih sensitif terhadap harga. Hal ini berpotensi menekan tingkat permintaan di segmen tersebut, sehingga langkah mitigasi menjadi sangat penting.
Respons dan Strategi Menghadapi Tantangan
Kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan akan membawa tekanan tambahan pada sektor perhotelan, terutama bagi segmen hotel non-bintang yang bergantung pada konsumen sensitif harga. Kondisi ini menuntut pelaku usaha untuk mengambil langkah strategis guna mengatasi potensi penurunan permintaan dan peningkatan biaya operasional. Di tengah tantangan tersebut, terdapat peluang untuk melakukan inovasi dan kolaborasi demi menjaga keberlanjutan industri ini.
Pelaku usaha hotel dapat mengadopsi teknologi untuk meningkatkan efisiensi operasional. Sistem pemesanan digital, pengelolaan stok yang lebih canggih, dan otomatisasi proses pembayaran adalah beberapa contoh langkah digitalisasi yang dapat membantu menekan biaya sekaligus meningkatkan pengalaman pelanggan.
Selain itu, dengan tren positif perjalanan wisatawan domestik, sektor perhotelan dapat fokus pada promosi yang menarik, seperti paket wisata hemat atau diskon musiman. Langkah ini diharapkan dapat mempertahankan daya beli masyarakat meskipun biaya operasional meningkat.
Peran pemerintah juga sangat penting dalam memastikan kelangsungan sektor ini. Subsidi atau insentif pajak musiman dapat membantu pelaku usaha hotel mengatasi dampak kenaikan PPN. Selain itu, kampanye pariwisata yang melibatkan pelaku usaha dapat menjadi strategi untuk meningkatkan permintaan.
Tidak kalah penting, hotel dapat menawarkan pengalaman unik, seperti paket eco-tourism atau layanan berbasis bahan lokal yang lebih terjangkau, untuk menarik segmen pasar baru dan meningkatkan loyalitas pelanggan. Dengan berbagai strategi ini, industri perhotelan diharapkan dapat terus memberikan kontribusi penting bagi perekonomian nasional meskipun menghadapi tantangan kenaikan pajak.
Baca Juga: Barang dan Jasa yang Terkena PPN 12% Mulai Januari 2025
Penulis: Aghnan Yarits Anggara
Editor: Editor