Pada tahun 2023, kepemilikan jaminan kesehatan bagi anak berusia 0-17 tahun, mencapai 64,30% atau setara dengan dimiliki 6 dari 10 anak. Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 2030 berkomitmen mengakui kesehatan sebagai HAM.
Jaminan kesehatan merupakan amanat UUD 1945 Pasal 28B ayat 2, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Kesehatan sebagai HAM juga dicapai dengan cakupan kesehatan semesta (universal health coverage).
World Health Organization menyebut cakupan kesehatan semesta adalah keterbukaan akses untuk semua orang atas layanan kesehatan yang berkualitas tanpa mengalami kesulitan dana.
Pengadaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu upaya Indonesia mencapai cakupan kesehatan semesta. Jaminan kesehatan ini termasuk perlindungan kesehatan untuk anak-anak Indonesia.
Badan Pusat Statistik menyatakan, kepemilikan jaminan kesehatan pada anak bergantung pada kepemilikan jaminan kesehatan orang tua atau orang dewasa yang tinggal bersamanya.
Kepemilikan jaminan kesehatan juga dipengaruhi kelompok umur, tingkat pendidikan kepala rumah tangga (KRT), dan status ekonomi keluarga. Semakin tinggi faktornya, semakin besar tingkat kepemilikan jaminan kesehatan.
Sementara beberapa provinsi mencapai kepemilikan jaminan kesehatan di atas rata-rata nasional, kondisi berbalik terjadi di sebagian wilayah Indonesia lainnya. Diantaranya, hanya ada 51,12% anak di Kalimantan Tengah yang memiliki jaminan kesehatan. Kemudian hanya ada 49,97% di Maluku dan terendah di Jambi sebanyak 48,60%.
Dalam laporan BPS tahun 2023, terdapat beberapa alasan tidak menggunakan jaminan kesehatan atas keluhan kesehatan atau kebutuhan rawat jalan anak.
Faktor-faktor tersebut diantaranya tidak tahu cara memanfaatkan jaminan kesehatan, kesulitan pemenuhan prosedur, kartu jaminan kesehatan yang tidak aktif, tidak ada fasilitas kesehatan yang terjangkau dari rumah, tidak ada petugas pemberi pelayanan jaminan kesehatan, dan tidak ada biaya serta transportasi.
Selain alasan tidak aktifnya kartu jaminan kesehatan, faktor lain yang memperoleh angka cukup tinggi adalah tidak adanya petugas yang memberikan pelayanan jaminan kesehatan.
Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan RI, Syarifah Liza Munira menyebutkan beberapa hal yang menghambat masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.
Hambatan tersebut datang dari keterbatasan akses JKN, kurangnya upaya promotif dan preventif dalam JKN sehingga pembiayaan mahal, koordinasi dana yang belum maksimal antara pemerintah, BPJS Kesehatan, dan pihak swasta, kendali mutu dan biaya program JKN yang belum optimal, serta interoperabilitas data yang belum berjalan.
Dengan hambatan tersebut, solusi yang ditawarkan berupa perluasan akses dan peningkatan kerja sama fasilitas kesehatan, pemenuhan suplai melalui penguatan peran pemerintah, dan pengadaan asuransi kesehatan tambahan untuk memperluas koordinasi dana antara pemerintah dan swasta.
Solusi lainnya adalah penambahan manfaat promotif, preventif, dan paliatif dalam JKN, memperluas fungsi BPJS Kesehatan sebagai third party administrator, mengoptimalisasi penilaian teknologi kesehatan, meningkatkan pengendalian moral hazard, menginteroperabilitas data, dan memperbaiki tata cara pemberian tarif beserta pola pembayarannya.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Iip M Aditiya