Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mengintai di tahun 2023. Fenomena ini merupakan kondisi dimana hutan/lahan terbakar, baik secara alami maupun perbuatan manusia. Karhutla mengakibatkan kerusakan lingkungan dan berdampak pada kerugian ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya.
Indonesia dikenal sebagai negara yang sering mengalami bencana karhutla yang terus menerus berulang tiap tahunnya. Tercatat, sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara dengan delapan kali luas pulau Bali terbakar antara tahun 2015-2019. Data tersebut dikutip berdasarkan laporan Greenpeace Indonesia pada tahun 2020 silam.
Sementara, menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hutan dan lahan yang terbakar pada tahun 2021 mencapai 354.582 hektar. Ini mengalami peningkatan sebesar 19,4% dibanding 296.942 pada tahun 2020. Adapun, karhutla terburuk terjadi pada tahun 2019 yang mencapai 1,6 juta hektar.
Dilaporkan, wilayah yang paling sering terdampak karhutla adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 137.297 hektar sepanjang 2021. Jika dihitung secara kumulatif, sebanyak 3,43 juta hektar lahan dan hutan telah terbakar sejak tahun 2016-2021.
Bagaimana potensi dan ancaman karhutla di Indonesia pada tahun 2023? Lalu, bagaimana respon pemerintah dalam menghadapi ancaman karhutla?
Karhutla sasar 16,4 juta hektar area gambut Indonesia
Mengutip laporan dari Pantau Gambut bertajuk Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2023 pada Wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Indonesia, ditemukan bahwa sebanyak 16,4 juta hektar area gambut di Indonesia rentan terbakar.
“Pada studi yang menggunakan dataset tahun 2015 hingga 2019 ini, Pantau Gambut menemukan bahwa 16,4 juta hektare area gambut di Indonesia rentan terbakar, dimana area seluas 3,8 juta hektare masuk ke dalam kategori kerentanan tinggi (high risk) dan 12,6 juta hektare tergolong ke dalam kerentanan sedang (medium risk),” papar Almi Ramadhi selaku Peneliti dan Analis Data Pantau Gambut.
Pantau Gambut juga melakukan analisis titik panas (hotspot) dan mencatat kemunculan 1.275 hotspot, dengan indikasi karhutla pada periode Januari hingga Februari 2023. Terdapat sekitar 381 titik panas berada di wilayah risiko tinggi, 520 titik panas pada wilayah risiko sedang, dan 374 titik panas di wilayah risiko rendah.
Adapun, laporan ini ditujukan untuk menanggulangi karhutla dan melakukan langkah korektif pada kebijakan dan tindakan pemerintah. Sementara jika dianalisis berdasarkan proporsi area KHG yang rentan terbakar, Prvinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG rentan terbanyak mencapai 97% dari total 1.421 hektar wilayah KHG Sungai Ifuleki Bian – Sungai Dalik.
Jika merujuk pada sisi luasan area, dilaporkan bahwa wilayaj dengan risiko tinggi terluas berada pada Provinsi Kalimantan Tengah dengan total luasan lebih dari 1,13 juta hektar2 yang tersebar pada 13 area KHG.
Mirisnya, wilayah KHG dengan risiko tertinggi, yakni Sungai Kahayan – Sungai Sebangau berada di dalam lokasi eks-PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut) seluas satu juta hektar pada era pemerintahan presiden Soekarno dahulu. Sementara, kini sebagian wilayah eks-PLG ini menjadi bagian dari proyek Food Estate.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam laman resminya melaporkan, 32 kasus bencana karhutla sejak 1 Januari hingga 8 Maret 2023. Jika diakumulasikan berdasarkan total keseluruhan bencana, telah terjadi sebanyak 564 kejadian bencana alam di Indonesia sepanjang periode tersebut.
Dari total tersebut, banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi mencapai 233 kejadian. Disusul oleh bencana cuaca ekstrem sebanyak 183 peristiwa, 97 tanah longsor, 9 kejadian gempa bumi, 9 gelombang pasang/abrasi, dan 1 erupsi gunung api.
Penanganan karhutla yang buruk
Pantau Gambut dalam laporannya menyebut, respon pemerintah dalam menanggulangi karhutla masih jauh dari baik. Presiden hanya akan mencopot pejabat TNI dan Polri jika kebakaran besar terjadi, seperti yang telah dilakukannya sejak tahun 2019 lalu.
Sikap ini dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan dan mengindikasikan bahwa pemerintah gagal paham untuk menangani akar masalah karhutla. Penanganan karhutla pun hanya berfokus pada pemadaman api tanpa memedulikan kerusakan lingkungan.
“Pemerintah gagal memahami akar permasalahan karhutla. Akibatnya penanganan karhutla hanya berfokus pada pemadaman api tanpa menyentuh masalah substantif, yaitu kerusakan ekosistem gambut yang memperparah dampak kebakaran,” tutur Wahyu A Perdana selaku Juru kampanye Pantau Gambut.
Kemudian, lemahnya penegakan hukum di Indonesia menyebabkan karhutla terjadi secara berulang di lokasi yang sama. Selama periode 2015-2019, telah terakumulasi sekitar 1,4 juta hektare gambut yang terbakar, dimana 70% (1,02 juta hektare) terjadi di dalam area konsesi dan 36% (527,9 hektare) terbakar lebih dari satu kali.
“Situasi menjadi semakin kompleks ketika Mahkamah Agung memenangkan Pengajuan Kembali (PK) yang diajukan oleh Presiden Jokowi di tahun 2022 pada gugatan Citizen Law Suit (CLS) karhutla di Kalimantan Tengah yang sebelumnya telah dimenangkan warga pada 2019. Jelas ini adalah cerminan melemahnya kekuatan hukum dalam menangani kasus karhutla,” jelas Wahyu.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya