Perkembangan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah menjadi salah satu tonggak utama dalam transformasi digital global. Di era ini, AI tidak lagi sekadar teknologi masa depan, tetapi telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari layanan kesehatan, transportasi, hingga keuangan.
Setiap negara berlomba-lomba mengembangkan ekosistem AI-nya demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing di kancah internasional. Namun, kemajuan AI tidak merata di setiap negara.
Keragaman tingkat adopsi, skala investasi, dan jumlah perusahaan yang bergerak di bidang AI menjadi faktor pembeda utama. Besarnya investasi yang digelontorkan pun bervariasi. Ketimpangan ini menciptakan dinamika menarik dalam lanskap AI dunia.
Negara-negara dengan investasi besar memiliki keunggulan dalam inovasi dan penerapan teknologi. Sementara itu, negara lain yang baru mulai membangun kapasitas AI-nya harus bersaing dengan sumber daya yang lebih terbatas.
Investasi AI Terbesar
Data dari The AI Index Report 2025 yang dipublikasikan Stanford University menunjukkan adanya ketimpangan yang sangat besar dalam investasi swasta untuk AI di berbagai negara. Amerika Serikat mendominasi peta global dengan total investasi mencapai US$109,08 miliar pada tahun 2024, jauh melampaui negara-negara lain.
Dominasi ini tak lepas dari kuatnya ekosistem teknologi, ketersediaan modal ventura, dan banyaknya perusahaan AI berbasis inovasi tinggi yang tumbuh di Silicon Valley dan wilayah teknologi lainnya.
Sebagai pesaing terdekat, China berada di posisi kedua dengan investasi sebesar US$9,29 miliar. Walaupun secara angka masih terpaut sangat jauh dari Amerika Serikat, China tetap menunjukkan komitmen kuat dalam mengembangkan AI sebagai bagian dari strategi nasionalnya.
Pemerintah China secara aktif mendorong kemitraan antara sektor publik dan swasta serta investasi besar dalam riset AI, khususnya di bidang pengenalan wajah, bahasa alami, dan automasi industri.
Negara-negara Eropa seperti Britania Raya (US$4,52 miliar), Swedia (US$4,34 miliar), dan Jerman (US$1,97 miliar) juga turut membangun kapabilitas AI mereka, meski dengan skala investasi yang lebih kecil.
Di kawasan ini, pendekatan yang diambil lebih terfokus pada aspek etika dan tata kelola AI yang bertanggung jawab, serta pengembangan AI untuk kepentingan publik. Hal serupa juga terlihat di Kanada (US$2,89 miliar) dan Prancis (US$2,62 miliar), yang menekankan pentingnya kolaborasi riset lintas universitas dan sektor industri.
Sementara itu, negara-negara dengan ekonomi lebih kecil seperti Uni Emirat Arab (US$1,77 miliar), Austria (US$1,51 miliar), dan Israel (US$1,36 miliar) justru menunjukkan antusiasme tinggi dalam mengadopsi AI melalui kebijakan negara yang agresif, insentif bagi startup, serta pendirian pusat inovasi.
Negara dengan Perusahaan AI Terbanyak
Data dari The AI Index Report 2025 Stanford University menunjukkan bahwa Amerika Serikat bukan hanya unggul dalam hal nilai investasi, tetapi juga dalam jumlah perusahaan AI baru yang mendapatkan pendanaan.
Pada tahun 2024, tercatat sebanyak 1.073 perusahaan AI baru di AS yang memperoleh pembiayaan, menandakan tingginya kepercayaan investor terhadap potensi inovasi teknologi di negara tersebut. Ekosistem AI di AS tampak sangat matang, dengan sinergi kuat antara riset akademik, modal ventura, dan inkubator teknologi.
Berbeda dengan AS yang sangat dominan, negara lain seperti Britania Raya (116 perusahaan) dan China (98 perusahaan) menempati posisi selanjutnya dengan selisih yang cukup besar.
Meskipun skala jumlahnya lebih kecil, kehadiran ratusan perusahaan baru ini tetap mencerminkan semangat inovasi yang tumbuh pesat, terutama di sektor startup teknologi. Di China, dorongan pemerintah untuk menjadi pemimpin AI global membuat perusahaan-perusahaan baru banyak bermunculan di bidang seperti pengenalan wajah, kendaraan otonom, dan robotika.
India, Jerman, dan Prancis juga mencatat pertumbuhan yang signifikan dengan masing-masing 74, 67, dan 59 perusahaan AI baru. Negara-negara ini mulai membuktikan diri sebagai pusat inovasi alternatif di luar dominasi AS dan China.
India, misalnya, memanfaatkan populasi insinyur muda dan biaya operasional yang kompetitif, sementara Eropa menekankan pendekatan etis dalam pengembangan AI, yang menjadikan perusahaan mereka lebih menarik bagi investor dengan orientasi jangka panjang.
Di urutan berikutnya, Korea Selatan, Kanada, Jepang, dan Singapura menunjukkan bahwa kawasan Asia-Pasifik terus memperkuat posisinya dalam lanskap AI global. Meskipun jumlah perusahaan baru yang didanai masih di bawah 60, negara-negara ini memiliki kebijakan yang mendorong riset dan pengembangan, serta adopsi teknologi dalam sektor publik dan industri.
Baca Juga: Sisi Gelap AI: Ancaman Baru bagi Lingkungan?
Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor