Pertumbuhan PDB Indonesia Stagnan, Tanda Deindustrialisasi Semakin Dekat?

PDB Indonesia menurun tajam pada 2020 dan stagnan dalam beberapa tahun terakhir akibat deindustrialisasi. Bagaimana cara mengatasinya?

Pertumbuhan PDB Indonesia Stagnan, Tanda Deindustrialisasi Semakin Dekat? Ilustrasi Sektor Industri di Indonesia | Merdeka.com

Salah satu jawaban dari pertanyaan, ‘mengapa Indonesia masih termasuk negara berkembang?’ adalah karena sektor industri belum menguasai pasar tanah air hingga saat ini. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi, hingga dapat memengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia.

Indonesia masih belum mampu menjadi penggerak ekonomi melalui transaksi impornya hingga sekarang, bahkan realita yang terjadi adalah sebaliknya.

Beberapa negara maju seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman sudah menjadikan sektor industri sebagai tulang punggung ekonomi bagi negaranya. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia sebagai negara terbesar se-Asia Tenggara, yang tengah menghadapi tantangan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri. Hal ini biasa dikenal sebagai deindustrialisasi.

Deindustrialisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan peralihan ekonomi dari sektor industri ke sektor jasa. Fenomena ini dapat mengakibatkan berkurangnya tingkat lapangan pekerjaan hingga penurunan PDB di Indonesia.

PDB Indonesia Stagnan Beberapa Tahun Terakhir

Data terbaru menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur Indonesia, yang pada satu waktu diharapkan akan menjadi motor utama penggerak ekonomi, malah terus melemah beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat dari persentase PDB Indonesia yang terus menurun dari tahun 2019-2023.

Terjadi penurunan PDB secara signifikan pada 2020 | GoodStats

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019, pertumbuhan PDB mencapai 5,02%, menunjukkan ekonomi yang relatif stabil dan kuat. Namun, tahun 2020 membawa tantangan besar dengan penurunan tajam dalam pertumbuhan PDB menjadi 2,07%.

Penurunan ini disebabkan oleh dampak pandemi yang meluas. Krisis kesehatan global ini mengakibatkan penurunan aktivitas industri secara signifikan, yang mengarah pada perlambatan ekonomi.

Setelah tahun yang penuh tantangan tersebut, perekonomian mulai pulih pada tahun 2021 dengan pertumbuhan PDB meningkat menjadi 3,70%. Pemulihan ini mencerminkan adaptasi dan perbaikan kondisi ekonomi secara bertahap.

Capaian positif ini berlanjut pada tahun 2022, ketika pertumbuhan PDB melonjak menjadi 5,31%. Lonjakan ini disebabkan oleh stimulus ekonomi, pembukaan kembali kegiatan ekonomi, dan upaya pemulihan yang dilakukan oleh berbagai sektor, termasuk industri.

Namun, pada tahun 2023, pertumbuhan PDB Indonesia sedikit menurun menjadi 5,05%, meskipun masih menunjukkan angka positif. Penurunan ini menandakan adanya tekanan tambahan dalam sektor ekonomi, termasuk potensi dampak dari pergeseran struktural dalam sektor industri.

Faktor Penyebab Deindustrialisasi

Di Indonesia, fenomena deindustrialisasi mulai terlihat pasca krisis moneter, sekitar tahun 2002. Saat itu terjadi lonjakan harga komoditas yang membuat kontribusi sektor industri terhadap PDB turut menurun, dari sekitar 32% pada 2002 menjadi sekitar 18,3% pada 2022.

Fenomena deindustrialisasi juga semakin marak terjadi pada era Jokowi. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) mencatat bahwa selama periode kedua kepemimpinan Jokowi, pangsa manufaktur terhadap PDB mencapai level terendah.

Sejak Jokowi menjabat pada tahun 2014, rata-rata nilai tambah industri manufaktur adalah sekitar 39,12% hingga tahun 2020. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pada masa pemerintahan Presiden Megawati (43,94%) dan Presiden SBY (41,64%).

Merosotnya industri manufaktur yang terjadi secara terus menerus diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya oleh fenomena "Dutch Disease" atau penyakit Belanda. Penyakit ini merujuk pada kondisi ekonomi ketika sebuah negara mengalami penguatan nilai tukar mata uang.

Penguatan ini memiliki dampak negatif terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya, terutama industri manufaktur, di antaranya:

1. Ketidakberdayaan Ekspor Non-Komoditas

Penguatan nilai tukar membuat produk manufaktur dalam negeri lebih mahal untuk diekspor dan produk impor menjadi lebih murah. Hal ini mengurangi daya saing produk manufaktur domestik di pasar internasional.

2. Lebih Menguntungkan Sektor Sumber Daya Alam

Peningkatan harga komoditas membuat sektor sumber daya alam menjadi lebih menguntungkan dan menarik lebih banyak investasi serta sumber daya. Sebaliknya, sektor manufaktur dapat mengalami pengurangan investasi dan penurunan daya saing.

3. Efek Negatif Terhadap Diversifikasi Ekonomi

Ketergantungan yang meningkat pada sektor sumber daya alam dapat menghambat upaya diversifikasi ekonomi ke sektor-sektor lain yang lebih berkelanjutan dan inovatif.

Selain beberapa faktor di atas, terdapat faktor lain yang memengaruhi terjadinya deindustrialisasi, seperti meningkatnya biaya tenaga kerja sehingga membuat banyak perusahaan cenderung lebih banyak berinvestasi di negara-negara dengan biaya produksi yang lebih rendah.

Lalu, deindustrialisasi juga disebabkan oleh infrastruktur yang belum memadai, termasuk masalah transportasi dan distribusi, sehingga menghambat kemampuan perusahaan untuk bersaing secara efektif di pasar global. Regulasi yang kompleks dan birokrasi yang lambat turut menghambat proses investasi dan ekspansi bisnis.

Langkah Menuju Solusi

Dalam mengatasi persoalan ini, pemerintah Indonesia harus mengambil beberapa langkah aktif guna merestrukturisasi kebijakan industri dan memperbaiki iklim investasi. Hal ini termasuk reformasi regulasi untuk mempermudah proses bisnis, peningkatan infrastruktur, serta promosi kebijakan yang mendukung investasi dalam teknologi dan inovasi.

Namun, upaya ini masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal implementasi yang efektif dan konsistensi kebijakan jangka panjang. Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga internasional juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan sektor manufaktur yang berkelanjutan.

Dengan masifnya dampak yang dirasakan, deindustrialisasi di Indonesia bukanlah masalah yang bisa diabaikan. Menanggapi hal ini memerlukan komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk menciptakan strategi jangka panjang yang berkelanjutan dalam membangun kembali sektor manufaktur sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia.

Direktur Utama PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) Didik Prasetiyono, mengungkapkan bahwa sektor industri merupakan elemen krusial dalam pembangunan ekonomi. Dengan mengimplementasikan teknologi mutakhir, sistem pembagian kerja yang efisien, dan manajemen berbasis ilmiah, Indonesia bisa mencapai skala ekonomi yang lebih besar. 

Hal ini tentu akan berdampak pada peningkatan produksi dan penyerapan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal. Didik juga menekankan bahwa pengembangan industri sangat penting dalam meningkatkan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita dengan pesat.

Semua ini dapat dilakukan secara bertahap dengan berkaca dari pengalaman negara-negara maju yang telah berhasil meningkatkan pendapatan nasional dan pendapatan per kapitanya melalui kemajuan industri.

Oleh karena itu, Indonesia harus bisa memanfaatkan potensi yang ada, kemudian merebut kembali meraih pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca Juga: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2024 Berdasarkan Wilayah

Penulis: Zakiah machfir
Editor: Editor

Konten Terkait

Ekspor Mobil Indonesia Turun di 2023, Terbanyak ke Filipina

Berat ekspor mobil Indonesia turun di 2023 menjadi 687 ribu ton, 29,7% ke Filipina, nilai ekspornya mencapai US$2,03 miliar.

Simak Progres 12 Proyek IKN yang Digarap Waskita

2 dari 12 proyek IKN yang digarap oleh PT Waskita Karya Tbk telah rampung, sisanya masih dalam progres.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook