Menyoroti Dampak Produksi Makanan terhadap Lingkungan

Agrikultur modern sangat mempengaruhi lingkungan sekitar kita, lantas apa-apa saja pengaruh itu?

Menyoroti Dampak Produksi Makanan terhadap Lingkungan Ilustrasi padi sebagai bahan pangan | gan chaonan/Shutterstock

Salah satu aspek paling penting dalam menjelaskan pesatnya pertumbuhan populasi manusia adalah makanan. Sebelum adanya agrikultur pada sekitar 2,5 juta tahun yang lalu, manusia mencari makanan dengan cara berburu dan meramu.

Manusia di zaman berburu dan meramu hidup dengan berpindah-pindah tempat tinggal (nomaden), karena harus selalu mencari daerah baru yang masih memiliki banyak hewan buruan dan tanaman yang bisa dijadikan makanan.

Ketika manusia mulai mengenal praktik agrikultur atau bercocok tanam sekitar 12.000 tahun yang lalu, manusia mulai membangun pemukiman dan tinggal secara permanen. Tidak seperti berburu dan meramu yang hanya menghasilkan stok makanan terbatas, agrikultur mampu meningkatkan jumlah stok makanan berkali-kali lipat dengan hanya beberapa petak ladang.

Berkat adanya teknologi bercocok tanam, manusia dalam jumlah yang sangat besar dapat bertahan hidup. Populasi manusia pun tumbuh pesat sejak saat itu. Jika revolusi agrikultur 12.000 tahun yang lalu tidak terjadi, maka peradaban manusia tidak akan bisa berkembang seperti sekarang ini.

Perkembangan agrikultur pada abad ke-21

Semakin meningkatnya populasi manusia, semakin meningkat pula permintaan terhadap makanan. Selama 50 tahun ke belakang, industri agrikultur telah berkembang secara signifikan dari segi kecepatan dan skala produksi stok makanan. Hal ini tentu didukung oleh kemajuan teknologi dan mesin-mesin canggih yang digunakan.

Agrikultur modern saat ini tengah menitikberatkan fokus pada produktivitas dan efisiensi bahan makanan. Di sisi lain, kebutuhan akan lahan, air tawar, pupuk, hingga bahan kimia lain terus membiak. Kebutuhan akan suplai bahan makanan yang tinggi secara tidak langsung menimbulkan dampak-dampak yang kurang ramah terhadap lingkungan.

Apa saja dampak agrikultur terhadap lingkungan?

Dampak agrikultur terhadap lingkungan tahun 2018 | GoodStats

Berdasarkan data yang dilansir dari Our World in Data pada 2018 lalu, agrikultur berdampak pada enam aspek, mencakup biodiversitas atau keanekaragaman hayati mamalia dan unggas, penggunaan lahan dan air tawar, eutrofikasi, serta emisi karbon yang berkontribusi pada pemanasan global.

Keanekaragaman hayati mamalia dan unggas

Sebanyak 94 persen biomassa mamalia atau hewan menyusui di seluruh dunia merupakan hewan ternak seperti sapi, babi, domba, kambing, rusa, dan lain-lain. Artinya, hanya tersisa 6 persen biomassa mamalia liar yang bukan merupakan hewan ternak. Perbandingan antara mamalia liar dan mamalia ternak pun sangat kontras, yaitu 15 banding 1.

Selain itu, 71 persen biomassa unggas merupakan unggas ternak (ayam, bebek, kalkun, dan sebagainya). Persentase tersebut menyisakan hanya 29 persen biodiversitas burung liar yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Tampaknya, agrikultur pun memiliki peran dalam terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan pencemaran saluran air yang dicirikan dengan meningkatnya kadar mineral dan nutrien seperti nitrogen dan fosforus. Akibatnya, kualitas air dan konsentrasi oksigen dapat turun drastis.

Umumnya, eutrofikasi menyebabkan air yang semula bersih menjadi berwarna kehijauan, mengeluarkan bau yang tidak sedap, serta tingkat kekeruhan yang secara perlahan meningkat. Kandungan air dengan kondisi eutrofik dapat mengancam kesehatan hewan serta manusia.

Perkembangan agrikultur yang cukup pesat kini telah menginvasi 50 persen tanah layak huni di berbagai belahan bumi. Tanah layak huni yang dimaksud adalah wilayah yang bukan merupakan es dan gurun. Pengambilan air tawar yang dialokasikan untuk irigasi, kebun, dan produksi ternak pun telah mencapai 70 persen. 

Emisi gas rumah kaca dari produksi makanan

Produksi bahan makanan secara global bertanggung jawab untuk lebih dari seperempat emisi karbon dan gas rumah kaca, yaitu sekitar 26 persen. Angka tersebut setara dengan 13,7 miliar ton karbon dan gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global.

Emisi gas rumah kaca global dari produksi makanan | GoodStats

Dalam mengkuantifikasi emisi gas rumah kaca dari produksi makanan, terdapat empat elemen yang dipertimbangkan: rantai pasokan, penggunaan lahan, produksi tanaman, serta peternakan dan perikanan.

Pada rantai pasokan, emisi produksi makanan berasal dari proses retail, pengemasan, transportasi dan distribusi, serta pemrosesan makanan. Sementara pada produksi tanaman, terdapat tanaman yang digunakan sebagai makanan hewan ternak dan tanaman untuk dimakan manusia. 

Dalam upaya memerangi perubahan iklim, menurunkan emisi gas rumah kaca yang berasal dari agrikultur dan produksi makanan akan menjadi salah satu tantangan terbesar dalam beberapa dekade ke depan.

Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Penjualan Mobil Naik, Toyota Jadi yang Terlaris di 2024

Dari Januari hingga Oktober 2024, Toyota menjadi merek mobil terlaris baik dalam penjualan wholesale maupun retail.

Standar Hidup Layak Orang Indonesia Naik Jadi Rp1,03 Juta per Bulan, Jakarta Tertinggi

BPS mencatat standar hidup layak nasional berdasarkan pengeluaran mencapai Rp1,03 juta per bulan, lebih rendah dibanding Jakarta yang sebesar Rp1,66 juta.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook