Menurut Hobday dkk. dalam Surinati (2021), Gelombang Panas Laut (GPL) atau Marine Heat Waves (MHW) adalah peristiwa ekstrem memanasnya suhu air laut melebihi ambang batas yang bervariasi secara musiman, dengan waktu peristiwa setidaknya 5 hari berturut-turut. Penyebab utama GPL adalah hasil gabungan dari kondisi spasial dan temporal yang berbeda antara samudra dengan atmosfer, dengan pendorong umum adalah arus laut dan angin. Selain itu, fenomena laut-atmosfer berskala besar seperti El Niño-Southern Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik dan Indian Ocean Dipole (IOD) juga dapat berpengaruh terhadap GPL dalam hal peningkatan intensitas, durasi, dan luas cakupan.
Dilansir International Union for Conservation of Nature (IUCN) (Oktober 2021), GPL dapat menyebabkan dampak signifikan terhadap kehidupan laut dan masyarakat. Beberapa akibatnya seperti cuaca ekstrem, peningkatan aspek yang menekan laut seperti pengasaman dan deoksigenasi laut, hilangnya habitat dan biodiversitas, maupun kerugian ekonomi.
IUCN menyampaikan bahwa rerata suhu laut telah meningkat 1,5°C dalam 1 abad terakhir. Bahkan, rerata tahunan suhu laut 1 dekade terakhir merupakan yang tertinggi dari yang pernah terjadi. Selain itu, prediksi Intergovernmental Panel on Climate Change, atau IPCC, mendapati adanya kemungkinan terjadinya GPL sebanyak 50x lebih sering dibanding masa praindustri, serta peningkatan frekuensi menjadi 20-50x lipat dan intensitas sebanyak 10x lipat pada 2100 mendatang. Dengan area paling terdampak adalah Samudra Arktik dan perairan tropis.
Meninjau kejadian GPL di tiap WPPNRI
Sekelompok peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Habibullah dkk., baru-baru ini merilis hasil kajian terhadap peristiwa GPL di tiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) pada kurun waktu 1982-2020. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam 4 dekade terakhir, jumlah kejadian GPL adalah sekitar 2-2,5 kejadian per tahunnya (pada tahun-tahun yang terjadi GPL). Kisaran ini merata di seluruh WPPNRI.
Diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014, Indonesia sendiri memiliki 11 bagian WPPNRI di seluruh perairan Indonesia. Daftar tersebut terdiri atas:
- WPPNRI 571 (Selat Malaka)
- WPPNRI 572 (Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda)
- WPPNRI 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa–NTT, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat)
- WPPNRI 711 (Selat Karimata, Laut Natuna, Laut China Selatan)
- WPPNRI 712 (Laut Jawa)
- WPPNRI 713 (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali)
- WPPNRI 714 (Teluk Tolo dan Laut Banda)
- WPPNRI 715 (Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau)
- WPPNRI 716 (Laut Sulawesi dan utara Pulau Halmahera)
- WPPNRI 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik)
- WPPNRI 718 (Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur)
Jika menilik WPPNRI dengan peningkatan suhu tertinggi ketika terjadi GPL, maka area paling terdampak adalah WPPNRI 573. Dengan cakupan area selatan Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, rerata peningkatan suhu permukaan laut (SPL) pada kejadian GPL mencapai 19,74°C! Menyusul di belakangnya adalah WPPNRI 718, 711, dan 572. Masing-masing rerata peningkatan SPL-nya adalah sekitar 14,72°C, 14,02°C, dan 13,46°C.
Sementara itu, WPPNRI 712, 714, 715, dan 716, semuanya memiliki kisaran peningkatan sekitar 12°C dari semua kejadian GPL. Sisa WPPNRI lainnya yaitu WPPNRI 571, 713, dan 717, menjadi wilayah yang minim peningkatan SPL-nya pada kejadian GPL, yaitu sekitar 11°C.
Ditinjau dari jumlah hari kejadian pemanasan laut ekstrem–GPL, WPPNRI 573 kembali jadi area terparah. Rata-rata dari tiap tahun terjadi GPL di perairan tersebut, kejadiannya bisa mencapai 33 hari atau lebih dari sebulan!
WPPNRI 572, 711, 712, 715, 716, dan 718 berturut-turut memiliki rerata kejadian GPL sebanyak 25-27 hari pada tahun-tahun tertentu. Sementara sisa WPPNRI lainnya (571, 713,714, dan 717) hanya sekitar 23 hari saja.
Seberapa parah GPL di perairan Indonesia?
Secara umum, kejadian GPL dapat dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu GPL Kelas I (sedang / moderate), Kelas II (berat / severe), Kelas III (kuat / strong), dan Kelas IV (ekstrem / extreme). Menurut penelitian Habibullah dkk. (2023), kejadian GPL di perairan Indonesia didominasi kategori Kelas I (sedang), dengan rerata luas cakupan tiap kejadiannya adalah 2,36 x 106 km2 dalam 4 dekade terakhir.
Kategori kejadian GPL berikutnya adalah tingkatan berat dengan rerata luas area cakupan adalah 1,21 x 105 km2. Kemudian GPL tingkatan kuat dengan rerata luas cakupan 3,33 x 103 km2 menyusul di belakangnya. Kategori terakhir yaitu GPL dengan level ekstrem, selain kejadiannya paling jarang terjadi, luasan area yang dicakupnya pun paling kecil. Rata-ratanya yaitu 2,14 x 102 km2.
Penulis: Gamma Shafina
Editor: Iip M Aditiya