Melihat Polemik Kejanggalan Survei Poltracking pada Pilkada Jakarta 2024

Perbedaan survei antara LSI dan Poltracking berbuntut pada Poltracking yang dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik Persepsi. Namun, hal tersebut menuai kontroversi.

Melihat Polemik Kejanggalan Survei Poltracking pada Pilkada Jakarta 2024 Poltracking dan LSI sebagai Dua Lembaga Survei Populer di Indonesia | Laman Resmi Poltracking dan LSI

Pada 23 Oktober 2024 lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei mengenai elektabilitas pasangan kandidat Pilkada Jakarta 2024 dengan tajuk “Pilkada Jakarta: Siapa Unggul Pasca Debat Perdana?”. 

Satu hari berselang, yakni pada 24 Oktober 2024, lembaga survei Poltracking menyusul merilis survei serupa yang bertajuk “Rilis Temuan Survei Tatap Muka Jakarta Poltracking Indonesia: Evaluasi Kampanye, Debat, & Tren Kekuatan Elektoral Kandidat Pilkada Jakarta 2024”.

Menariknya, salah satu hasil survei mengenai elektabilitas kandidat Pilkada Jakarta 2024 dari kedua lembaga tersebut berbeda. Pada survei LSI, diketahui bahwa pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Doel) lebih unggul dibandingkan dengan pasangan Ridwan Kamil-Suswono. Namun, pada survei Poltracking, justru yang terjadi adalah sebaliknya, di mana RK-Suswono lah yang lebih unggul dibandingkan dengan Pram-Doel.

Adapun persentase selengkapnya dapat dilihat pada infografik berikut.

Perbedaan Survei LSI dan Poltracking
Pada survei LSI, pasangan Pram-Doel lebih unggul, tetapi pada survei Poltracking RK-Suswono yang lebih unggul | GoodStats

Berdasarkan hasil survei tersebut, pasangan Pram-Doel lebih unggul dibandingkan dengan pasangan RK-Suswono pada survei LSI, dengan persentase 41,6% untuk Pram-Doel dan 37,4% untuk RK-Suswono. Selanjutnya, pasangan Dharma-Kun berada di peringkat ketiga dengan persentase elektabilitas sebesar 6,6%. Adapun sebanyak 14,4% responden lainnya tidak tahu/tidak menjawab.

Sementara itu, menurut hasil survei Poltracking, pasangan RK-Suswonolah yang lebih unggul, dengan persentase 51,6%, sedangkan Pram-Doel hanya berada di angka 36,4%. Pasangan Dharma-Kun mendapatkan persentase elektabilitas yang lebih rendah daripada survei LSI, yakni 3,9%. Adapun sebanyak 8,1% responden lainnya tidak tahu/tidak menjawab. 

Poltracking Dapat Sanksi dari Dewan Etik

Perbedaan yang terjadi antarlembaga survei LSi dan Poltracking ini lantas menimbulkan polemik yang membuat Poltracking dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi). Adapun sanksi yang diberikan adalah larangan untuk mempublikasikan hasil survei tanpa mendapat persetujuan dari Dewan Etik. Namun, hal ini tidak akan berlaku apabila Poltracking memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Persepsi.

Menurut Ketua Umum Persepsi Philips Vermonte, pemberian sanksi ditujukan agar semua anggota Persepsi mengikuti prosedur saintifik yang telah teruji. Menurutnya, hasil survei yang menuai kontroversi dapat menyebabkan ketidakpercayaan publik mengenai hasil survei.

Dalam acara “Ekspose Data dan Penjelasan Terkait Kronologi, Standar Pemeriksaan, Rincian Pemeriksaan, dan Hasil Putusan Dewan Etik Persepsi terhadap Poltracking Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia”, Hamdi Muluk, Dewan Pakar Persepsi, membeberkan sejumlah alasan mengapa pihaknya memberikan sanksi kepada Poltracking.

“Poltracking tidak berhasil menunjukkan data asli yang diekspor dari aplikasi sistem survei saat pemeriksaan sehingga Dewan Etik tidak bisa memastikan kesahihan data survei,” papar Hamdi pada Minggu (10/11/2024), mengutip detikNews.

Selain itu, alasan lain adalah karena tidak adanya kesesuaian antara data valid dan data yang dilaporkan Poltracking mengenai jumlah responden. Diketahui bahwa data valid hanya berjumlah 1.652, sedangkan Poltracking melaporkan data responden yang berhasil sejumlah 2.000 sampel.

Masalah lain yang dijumpai adalah mengenai ketidakjelasan data yang dipakai sebagai pondasi penilaian, mengingat terdapat dua dataset raw berbeda yang diserahkan Poltracking. Dewan Etik juga mencatat bahwa Poltracking tidak bisa memverifikasi kesahihan metodologi survei yang diterapkan. 

Lebih lanjut, Hamdi menuturkan bahwa proses pemilihan sampel tidak mempertimbangkan prinsip randomness dan representativeness. Dengan begitu, Dewan Etik menyimpulkan bahwa data Poltracking tidak dapat divalidasi.

Sementara itu, LSI juga telah diperiksa oleh Dewan Etik, tetapi menurutnya, hasil survei LSI menunjukkan bahwa mereka telah mematuhi Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) yang berlaku sehingga tidak dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik.

Baca Juga: Elektabilitas Pilkada Jakarta 2024 Terbaru, RK-Suswono Masih Unggul

Tanggapan Poltracking Atas Sanksi yang Dijatuhkan Persepsi

Menanggapi sanksi yang diberikan Persepsi tersebut, Poltracking menyatakan bahwa Dewan Etik Persepsi sudah bersikap tidak adil dalam menjelaskan hasil survei elektabilitas tiga pasangan calon Pilkada Jakarta antara LSI dan Poltracking. Direktur Poltracking Masduri Amrawi mengungkapkan hal tersebut.

“Persepsi hanya menjelaskan pemeriksaan metode dan implementasi dari LSI dapat dianalisa dengan baik, tapi tidak dijelaskan bagaimana dan kenapa metode dan implementasinya dapat dianalisis dengan baik,” ucap Masduri pada Selasa (5/11/2024), seperti yang dilansir dari TribunNews

Lebih lanjut, Masduri juga mengatakan bahwa LSI telah melakukan penggantian sekitar 60 primary sampling unit (PSU) atau 50% dari total PSU survei mereka di Pilkada Jakarta. Ia menambahkan bahwa penggantian PSU akan berdampak pada kualitas data. Oleh karenanya, penting untuk menjelaskan hal tersebut kepada publik.

Pada hari yang sama, Poltracking merilis keterangan pers di laman resminya dengan tajuk “Keterangan Pers tentang Survei Pilkada Jakarta Oktober 2024 Poltracking Indonesia”. Dalam rilis pers tersebut, Poltracking secara tegas menyatakan bahwa mereka akan keluar dari Persepsi karena pertaruhan integritas.

“Kami merasa Poltracking diperlakukan tidak adil. Sejak hari ini, kami telah memutuskan keluar dari keanggotaan Persepsi. Kami keluar dari Persepsi bukan karena melanggar etik, tapi karena merasa sejak awal ada Dewan Etik Persepsi yang tendensius pada Poltracking Indonesia” tulis Poltracking dalam keterangan persnya.

Poltracking menambahkan bahwa biar publik serta hakim yang menilai permasalahan ini dan kebenaran akan menemukan jalannya.

Persepsi Dinilai Tidak Konsisten dalam Menerapkan Sanksi

Langkah Persepsi dalam menjatuhi sanksi kepada Poltracking juga dinilai tidak adil oleh beberapa pihak. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Karim Suryadi. Ia membandingkan perbedaan survei pilkada yang terjadi antarlembaga survei di Jakarta dan Jawa Tengah.

“Kalau Jakarta itu Poltracking beda jauh dari yang lain-lain dengan memenangkan Ridwan Kamil, itu sama kasusnya dengan Jawa Tengah, di mana SMRC, Kompas, LKPI, itu memenangkan Andika-Hendrar. SMRC dengan Litbang Kompas tipis, tapi LKPI itu menang jauh, tapi enggak diapa-apain,” ujar Prof. Karim Suryadi pada Sabru (9/11/2024), mengutip TribunNews.

Menurut Prof. Karim, terdapat ketidakkonsistenan Persepsi dalam menjatuhi sanksi. Seharusnya, apabila Poltracking yang memiliki hasil survei berbeda sendiri dikenakan sanksi, LKPI di Jawa Tengah yang memiliki hasil survei berbeda sendiri juga demikian. Ia menambahkan bahwa Poltracking selama ini dikenal sebagai lembaga survei yang akurat dan memiliki integritas tinggi. 

Lebih lanjut, Prof. Karim turut menyoroti kredibilitas Dewan Etik Persepsi. Ia mempertanyakan apakah mungkin ada konflik kepentingan yang bisa mempengaruhi objektivitas keputusan Dewan Etik tersebut. Alih-alih menjadi “wasit”, ia mencurigai bahwa Persepsi bisa juga menjadi pemain, baik menyangkut pada kepemilikan lembaga survei maupun konsultan.

“Yang menjadi pertanyaan saya bagaimana tingkat independensi dan objektivitas Dewan Etik. Apakah Dewan Etik itu keanggotaannya terbebas dari kepentingan lembaga survei atau tidak. Jadi, publik bertanya-tanya, apakah murni ingin menegakkan etik atau jangan-jangan rebutan kavling, rebutan lahan. Itu yang tidak baik,” ungkap Prof. Karim, melansir TribunNews

Perbedaan Hasil Antarlembaga Survei Sudah Biasa Terjadi

Ujang Komarudin, pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan bahwa perbedaan antarlembaga survei bukan merupakan suatu hal baru. Menurutnya, memang ada lembaga survei yang menjadi konsultan politik hingga tim kampanye kandidat tertentu saat kampanye. 

Keberpihakan ini yang kemudian membuat hasil survei menjadi kurang objektif karena hanya berdasarkan “pesanan”.

“Perang survei tidak hanya terjadi sekarang, di pilpres, pilkada, sudah sering terjadi. Ini terjadi karena lembaga survei ada afiliasi atau keberpihakan, biasanya jadi tim sukses atau konsultan bagi kandidat atau calon tertentu. Kalau lembaga survei objektif, tidak akan terjadi hal seperti ini,” ungkap Komarudin pada Selasa (5/11/2024), seperti yang dikutip dari Suara.com.

Baca Juga: LSI: Elektabilitas Pramono Salip Ridwan Kamil, Poltracking Berkata Lain

Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda
Editor: Editor

Konten Terkait

Isu Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan 2025

Isu mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan tahun depan kembali mencuat setelah disebut-sebut bisa menjadi solusi untuk defisit saat ini.

KPK Selamatkan Rp2,49 Triliun di 2020-2024

KPK tercatat menyelamatkan aset sebesar Rp2,49 triliun dalam periode 2020-2024 dan telah menindak 597 kasus pidana korupsi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook