Memiliki profesi atau pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan, minat, pendidikan, hingga kepribadian tentunya menjadi dambaan bagi setiap orang. Jika kita sudah menemukan pekerjaan yang cocok, maka kita juga akan merasa bahagia dan serius saat bekerja.
Namun, mencari kerja di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Ini karena persaingan antara para pencari kerja yang semakin ketat dan sulitnya mendapatkan informasi yang lengkap juga akurat terkait lowongan pekerjaan itu sendiri.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja nasional per Februari 2023 sudah mencapai 146,62 juta orang. Angka ini naik sebanyak 2,61 juta dibandingkan pada periode Februari 2022. Sementara, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) naik sebanyak 0,24% poin.
Adapun, penduduk yang sudah bekerja mencapai 138,63 juta orang di Indonesia pada Februari 2023, naik sebesar 3,02 juta dari Februari 2022. Sementara, terdapat sekitar 3,60 juta orang (1,70%) penduduk usia kerja yang masih terdampak pandemi Covid-19 pada 2023.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh OECD, kini makin banyak remaja yang belum memiliki rencana masa depan. Ini termasuk mengenai pekerjaan yang diinginkan. OECD menganggap, banyaknya remaja yang tidak memiliki rencana detail tersebut kemungkinan akan merasa tidak bahagia saat bekerja nanti.
Sehubungan dengan hal ini, Katadata Insight Center (KIC) dan Kurious melakukan survei secara daring untuk melihat kebenaran dari asumsi tersebut. KIC dan Kurious meninjau kesesuaian pekerjaan dengan aspirasi karir dan cita-cita masyarakat Indonesia.
Sebagai informasi, survei ini dilaksanakan pada periode 3-5 Juni 2023 dengan melibatkan sebanyak 744 responden. Survei dilakukan menggunakan metode CAWI (web interview) dengan tingkat toleransi kesalahan (margin of error) 3,59% dan tingkat kepercayaan 95%.
Lantas, bagaimana persepsi masyarakat terhadap pekerjaannya? Lebih lanjut, faktor apa saja yang membuat masyarakat bahagia dengan pekerjaannya dan bagaimana relevansi pendidikan terhadap pekerjaan mereka?
Mayoritas merasa bahagia terhadap pekerjaannya
Berdasarkan hasil survei, mayoritas responden (88,2%) merasa bahagia terhadap pekerjaan mereka sekarang. Rinciannya, 71,7% merasa bahagia dan 16,6% lainnya merasa sangat bahagia. Sementara sisanya (11,8%) merasa tidak bahagia, dengan rincian sebesar 9,8% responden tidak bahagia dan 2% sangat tidak bahagia.
KIC dan Kurious menunjukkan, kurangnya pengakuan dan penghargaan merupakan faktor terbesar (42,3%) yang membuat responden tidak bahagia dengan pekerjaannya. Kemudian, kurangnya peluang dan pengembangan juga menjadi faktor yang membuat responden tidak bahagia dengan persentase mencapai 37,3%.
Selanjutnya, disusul oleh faktor beban kerja yang berlebihan dengan persentase 36,6% responden. Ada juga responden yang menilai bahwa ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance) menjadi faktor ketidakbahagiaan dengan persentase sebesar 34,5%.
Selain faktor ketidakbahagiaan, KIC dan Kurious dalam laporannya juga menyajikan faktor kebahagiaan responden terhadap pekerjaannya. Hasilnya, lingkungan kerja yang positif menjadi faktor terbesar dengan persentase sebanyak 55,3% responden.
Diikuti oleh gaji dan imbalan yang sesuai beban kerja dengan persentase sebesar 46,2% responden. Lalu, ada faktor kesesuaian minat dan bakat serta penerapan work-life balance dengan persentase masing-masing sebesar 44,9% dan 39,6%.
Di sisi lain, tercatat bahwa mayoritas responden mengaku bahwa mereka ingin mengganti pekerjaan saat ini dengan rincian 43,9% responden ingin mengganti dan 18% sangat ingin mengganti. Sementara, sebanyak 35,1% responden cukup puas dengan pekerjaannya saat ini, dengan rincian 32,7% tidak ingin mengganti dan 2,4% sangat tidak ingin mengganti pekerjaannya.
Relevansi pendidikan terhadap pekerjaan masyarakat Indonesia
Latar belakang pendidikan tentunya menjadi salah satu faktor penting untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Menurut laporan, sebanyak 77% responden menilai bahwa memiliki pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan itu penting.
Lebih dari sepertiga responden (35,6%) mengaku bahwa kesesuaian latar belakang pendidikan memberikan banyak keunggulan kompetitif dalam mencari pekerjaan. Sementara, 8,7% lainnya merasa bahwa mereka merasa kurang kompetitif terhadap pekerjaannya.
Dari sisi relevansi, KIC dan Kurious mencatat bahwa mayoritas responden (67,9%) menilai pendidikan formal seperti perguruan tinggi memberikan keterampilan yang relevan dengan pekerjaan mereka saat ini. Rinciannya, sebanyak 48,7% merasa cukup relevan dan 19,2% merasa sangat relevan.
Berkaitan dengan hal ini, mayoritas responden (49,3%) juga menilai bahwa pekerjaan yang sesuai dengan latar pendidikan formal memberikan gaji yang lebih tinggi. Di lain sisi, sebanyak 33,5% responden merasa bahwa pendidikan tidak terlalu berpengaruh terhadap besaran gaji.
Baru-baru ini, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa faktor dari sulitnya menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia adalah bonus demografi yang tak bisa dikelola dengan baik.
Sehingga, angka pengangguran dan bencana demografi menjadi tak terhindarkan. Ia bahkan sempat menyinggung sulitnya mencari lapangan pekerjaan di Indonesia saat ini.
“Sangking sulitnya mencari lapangan kerja, lulusan S2 (pascasarjana) yang seharusnya bisa jadi guru saat ini (ada yang) menjadi tukang sapu,” katanya dikutip dari Medcom.id pada Kamis, (15/6/2023).
Sehubungan dengan ini, Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nizam menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, pendidikan seharusnya dapat menunjang kehidupan tiap lulusannya.
“Jangan sampai pendidikan tidak memberi nilai tambah pada lulusannya. Semakin tinggi pendidikan harusnya semakin tinggi pula kompetensi dan daya saingnya,” ujarnya dikutip dari Medcom.id pada Jumat, (16/6/2023).
Penulis: Nada Naurah
Editor: Editor