Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tengah mengusut kasus dugaan korupsi melalui pengadaan barang jasa dan pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika sepanjang 2020 hingga 2024. Kerugian diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.
Pada 2024 lalu, masyarakat Indonesia diguncang dengan serangan ransomware yang berimbas pada menyebarkan data diri penduduk. Penyebabnya adalah proyek pengadaan ini tidak mempertimbangkan kelaikan dari Badan Siber dan Sandi Negara sebagai syarat penawarannya.
Hal ini menjadi alarm atas sistem perlindungan data di Indonesia, yang ternyata pada prosesnya tidak optimal karena korupsi.
Sepanjang 2020 hingga 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital) mendapat total pagu anggaran senilai Rp958 miliar untuk pengadaan barang/jasa dan pengelolaan.
Akan tetapi, dilakukan pengondisian antara pejabat di Kementerian Kominfo untuk memenangkan kontrak dengan PT Apilkanusa Lintasarta, yang bahkan tidak memenuhi syarat pengakuan kepatuhan ISO 22301.
Catatan Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa
Berdasarkan Survei Penilaian Integritas 2024, pengadaan barang dan jasa (PBJ) menjadi sektor yang paling rentan praktik korupsi di kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.
“Risiko penyalahgunaan dalam pengelolaan PBJ mencapai 97% di kementerian/lembaga dan 99% di pemerintah daerah,” tutur Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, pada situs resmi KPK.
Otak-atik pemenang vendor juga menjadi modus yang cukup sering ditemukan pada kasus korupsi PBJ.
“Korupsi di sektor PBJ secara langsung mendegradasi kualitas pelaksanaan keuangan negara. Pemerintah, sebagai pengguna anggaran, harus memastikan pengelolaan anggaran dilakukan secara optimal untuk mendukung pembangunan nasional,” tambah Pahala.
Menilik Kekuatan Siber Indonesia
Serangan ransomware pada Juni 2024 yang melumpuhkan server PDNS hingga menyebabkan layanan publik terganggu bukan peristiwa pertama. Sebelumnya, kasus serangan siber beberapa kali terjadi dan merugikan masyarakat.
Pada Agustus 2024, diduga terjadi kebocoran data sebanyak 4,7 juta NIP dan NIK para ASN. Data ini dikelola oleh Badan Kepegawaian Negara. Kemudian, pada September 2024 juga dikabarkan terjadi kebocoran data NPWP, termasuk data para petinggi pemerintahan.
Mundur ke belakang, hacker dengan username Bjorka juga beberapa kali melakukan serangan siber pada data masyarakat.
Melihat kasus-kasus tersebut, sebetulnya seberapa kuat perlindungan siber di Indonesia?
Data National Cyber Security Index (NCSI) pada 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-49. Total skor NCSI yang diperoleh hanya 63,64. Skor tersebut sama dengan yang diperoleh Paraguay, Filipina, Azerbaijan, Argentina, dan Jepang.
Skor NCSI didapat dari bagaimana kebijakan kemanan siber diterapkan, kontribusinya terhadap keamanan siber global, pendidikan dan pengembangan profesional, penelitian dan pengembangan keamanan siber, keamanan siber dengan infrastruktur informasi yang kritis, serta keamanan siber dalam aktivitas digital.
Selain itu, NCSI juga menilai kemampuan negara dalam menganalisis ancaman siber dan upaya meningkatkan kesadaran atas ancaman siber, respons terhadap insiden siber, manajemen krisis siber, pertahanan siber militer negara, perlindungan data pribadi, serta upaya melawan kejahatan siber.
Meskipun lebih unggul dibandingkan kurang lebih 120 negara lainnya, hal ini tidak membuat posisi Indonesia aman. Sejumlah langkah tegas dan sistematis diperlukan untuk meningkatkan kekuatan siber Indonesia. Termasuk, dari dalam pemerintahannya.
Baca Juga: Simak Indeks Perilaku Anti Korupsi di Indonesia Tahun 2024
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor