Kejagung menetapkan Ibu dari Ronald Tannur, Meirizka Widjaja (MW), sebagai tersangka dalam kasus suap Hakim PN Surabaya pada Selasa (5/11) lalu. Suap tersebut dilakukan guna membebaskan anaknya dari segala macam tuduhan melakukan kekerasan berujung pembunuhan Dini Sera pada Oktober 2023 silam.
Semua berawal ketika pengacara Ronald Tannur sekaligus teman dekat MW, Lisa Rahmat (LR), mengatakan terdapat beberapa hal yang perlu dibayar dan langkah-langkah yang dilakukan guna mengurus perkara Ronald Tannur. LR meminta bantuan mantan pejabat MA, Zarof Ricar (ZR), untuk diperkenalkan dengan pejabat PN Surabaya, berinisial R, untuk memilih majelis hakim yang menyidangkan perkara Ronald Tannur.
Tak perlu banyak pikir, MW langsung menyetujuinya dan membayar dengan jumlah yang fantastis. Awalnya MW membayar Rp1,5 miliar secara bertahap namun ternyata ada biaya tambahan yang sebelumnya ditalangi LR sebesar Rp2 miliar yang kemudian diganti oleh MW. Dengan demikian, MW menggelontorkan uang untuk kasus anaknya sebesar Rp3,5 miliar.
"Terhadap uang sebesar Rp 3,5 miliar itu menurut keterangan LR diberikan kepada majelis hakim yang menangani perkara," tutur Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, pada Senin, (4/11) mengutip Detik.
Belum selesai sampai di sini, ayah serta adik Ronald Tannur turut diperiksa mengenai kasus suap menyuap ini. Sang ayah, Edward Tanur, mengatakan dirinya mengetahui suap yang dilakukan istrinya namun statusnya belum disahkan sebagai tersangka.
Di sisi lain, adik Ronald dengan inisial CT akan dilakukan pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Lebih lanjut, Kejagung juga masih mendalami peran yang dilakukan pejabat MA yang disebut-sebut, inisial R dalam mengatur pemilihan majelis hakim.
Hingga kini, terdapat enam orang tersangka yang terlibat dalam kasus suap perkara Ronald Tannur yaitu:
- Hakim Erintuah Damanik
- Hakim Mangapul
- Hakim Heru Hanindyo
- Pengacara Lisa Rahmat
- Eks Pejabat MA Zarof Ricar
- Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja
Indonesia Konsisten Alami Peningkatan Kasus Korupsi
Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi. Korupsi memiliki ragam bentuk mulai dari gratifikasi, pemerasan, hingga suap-menyuap. Tak tanggung-tanggung, korupsi dapat terjadi di mana saja, melibatkan banyak pihak, bahkan dapat terjadi dalam bayangan dengan bantuan oknum tidak bertanggung jawab yang memiliki kekuasaan pada sektor tertentu.
Berdasarkan data Corruption Perceptions Index yang diterbitkan oleh Transparency International, Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi sebesar 34 pada 2023. Hal tersebut menempatkan Indonesia berada pada posisi ke-115 dari 180 negara yang diukur. CPI mengukur tingkat korupsi pada sektor publik dengan rentang skor 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Perolehan skor tersebut nyatanya didukung dengan tren korupsi yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukan peningkatan tiap tahunnya. Melansir pemberitaan Kompas.tv, terdapat 271 jumlah kasus yang terjadi dengan 580 jumlah tersangka pada 2019. Kemudian, pada 2020, jumlah kasus yang terjadi sebesar 444 dengan jumlah tersangka mencapai 875.
Tahun 2021, kasus yang terjadi selama setahun tercatat sebesar 533 dengan akumulasi tersangka 1.173. Tahun berikutnya, kembali terjadi peningkatan dengan 579 jumlah kasus dan 1.396 jumlah tersangka. Terbaru pada 2023, terjadi lonjakan jumlah kasus sebesar 791 dilanjut dengan 1.695 jumlah tersangka.
Jenis Korupsi “Unggulan” Indonesia
Masih dalam laporan yang sama, terdapat 7 jenis dan bentuk korupsi lainnya yang dikualifikasikan termasuk sebagai tindak pidana korupsi. Jenis-jenis tersebut telah diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Kasus Korupsi.
Selain itu, kualifikasi tersebut juga menggunakan UU lain yaitu UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian (UU TPPU) sebagai tindak pidana lanjutan dari tindak pidana korupsi.
Kerugian Keuangan Negara menempati urutan pertama dalam jenis korupsi yang paling sering terjadi di Indonesia. Terdapat ratusan kasus yang tergolong pada kategori tersebut yang mencapai 701 kasus. Kemudian, disusul dengan 36 kasus pemerasan yang terjadi dalam skala nasional.
Suap-Menyuap berada pada posisi ketiga dengan 22 jumlah kasus. Selanjutnya, tercatat 11 kasus gratifikasi yang telah terjadi. Pencucian uang dan penggelapan dalam jabatan masing-masing memiliki jumlah kasus yang sama yaitu 6.
Benturan kepentingan dalam pengadaan ada 4 kasus sementara terdapat 3 kasus obstruction of justice yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir.
Terakhir, terdapat 2 kasus yang menyamarkan aset serta harta hasil korupsinya. Hal tersebut, tergolong dalam tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime). Tindak pidana asal merupakan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi menjadi objek dari TPPU.
Dengan demikian, penegak hukum di Indonesia rerata menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebagai landasan penetapan status tersangka. Hal tersebut rupanya senada dengan jumlah kerugian negara dari berbagai sektor dengan total lebih dari Rp28 triliun.
Berdasarkan data-data tersebut, Indonesia nyatanya masih darurat korupsi. Meski banyak upaya telah dilakukan untuk membasmi korupsi, jika dalam tubuh penegak hukum terdapat indikasi tersebut maka cita-cita menciptakan negara yang bersih dari korupsi tak kunjung tercapai.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum di Indonesia secara tegas dan transparan. Kemudian, meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas dalam tiap level birokrasi serta melakukan perlindungan pada pelapor tindak pidana korupsi. Edukasi secara menyeluruh juga diperlukan guna menciptakan integritas dalam masyarakat.
Penulis: Aisyah Fitriani Arief
Editor: Editor