Isu tenaga kerja Indonesia seolah tak ada habisnya. Di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik dan perkembangan positif di berbagai sektor industri, potret tenaga kerja Indonesia tak kunjung membaik. Realitas lapangan menunjukkan bahwa masih banyak karyawan Indonesia, terutama di sektor informal, UMKM, dan industri padat karya, yang digaji di bawah upah minimum yang ditentukan, beberapa bahkan terbilang sangat rendah gajinya. Besaran upah yang diterima ini sering kali tidak memenuhi standar kebutuhan layak, mendorong meningkatnya kemiskinan dan menurunnya kesejahteraan rakyat.
Persoalan ini tak hanya menyangkut nominal gaji yang diberikan, melainkan juga mencerminkan adanya ketimpangan penghasilan yang kian melebar antar kelompok pekerja. Perbedaan tajam antara gaji eksekutif dan buruh, pekerja di Jakarta dan daerah lain, hingga antara sektor formal dan informal, mencerminkan kecacatan dalam sektor tenaga kerja Indonesia, memperluas kesenjangan di tengah masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 67,1 juta pekerja per Februari 2025, termasuk di dalamnya buruh, karyawan, pegawai, atau pekerja bebas sektor pertanian dan non-pertanian.
Mirisnya, rata-rata gaji yang diterima pekerja Indonesia adalah sebesar Rp2,84 juta per bulan, masih jauh lebih rendah dibanding rata-rata upah minimum nasional yang sebesar Rp3,31 juta.
Dalam konteks persaingan global dan bonus demografi yang dimiliki Indonesia, rendahnya gaji yang diterima tenaga kerja lokal menjadi ancaman serius bagi produktivitas dan stabilitas sosial.
Menurut BPS, sebanyak 41,46 juta pekerja Indonesia memperoleh upah Rp2 juta atau lebih. Jumlah tersebut setara dengan 62% dari total pekerja pada Februari 2025. Ini berarti, masih ada 38% pekerja Indonesia yang digaji di bawah Rp2 juta per bulan.
Rinciannya, terdapat 8,25 juta pekerja yang memperoleh upah Rp1,5 juta hingga Rp2 juta, 7,21 juta pekerja yang digaji antara Rp1 juta sampai Rp1,5 juta, dan sisanya digaji di bawah Rp1 juta per bulan. Bahkan, ada 500 ribu pekerja yang masih memperoleh upah di bawah Rp200 ribu per bulan, nominal yang sangat rendah untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ditinjau per kelompok pekerja, maka kelompok buruh, karyawan, dan pegawai rata-rata memperoleh Rp3,09 juta per bulan sebagai pendapatan bersih. Sedangkan pekerja bebas sektor pertanian mendapatkan Rp1,38 juta per bulan dan pekerja bebas non-pertanian memperoleh Rp2,03 juta per bulan.
Fenomena ini sejatinya tak lepas dari penerapan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mewajibkan semua badan usaha untuk menggaji karyawannya seminimalnya upah minimum. Namun, ketentuan itu kini diubah pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022, sehingga kini aturan upah minimum tidak berlaku bagi usaha mikro dan kecil. Artinya, badan usaha mikro dan kecil bisa menggaji karyawan di bawah UMP tanpa adanya sanksi.
Apa Kenaikan UMP Berpengaruh?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 sebesar 6,5% jauh dari kata ideal. Bhima mengatakan kenaikan 6,5% masih terlalu rendah untuk mendorong konsumsi rumah tangga.
“Angka 6,5% jauh dari cukup,” kata Bhima, Jumat (29/11/2024), mengutip Tempo.
Menurut data BPS, dari 54,06 juta buruh, pegawai, atau karyawan di Indonesia, hanya 25,53 juta orang yang mendapat gaji di atas UMP, atau sekitar 47,22% dari total pekerja. Sisanya sekitar 28,53 juta karyawan mendapat gaji di bawah UMP.
Dengan kata lain, penetapan kenaikan UMP belum mampu mendorong kenaikan upah yang sebenarnya diterima pekerja Indonesia, yang mayoritas digaji di bawah UMP.
Tidak dapat dipungkiri, upah erat kaitannya dengan kesejahteraan rakyat. Negara yang mampu menjamin kehidupan rakyatnya akan mampu memberikan upah yang layak, mencukupi standar kebutuhan dasar masyarakat. Banyaknya pekerja yang digaji di bawah Rp2 juta, bahkan termasuk pekerja dari sektor formal, membuktikan masih perlunya pembenahan menyeluruh dalam sistem penetapan upah di Indonesia.
Baca Juga: Deretan Pekerjaan dengan Gaji Tertinggi di Indonesia
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor