Kelas Menengah ke Bawah Paling Tertekan dari Kebijakan PPN 12%

Kebijakan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% dinilai akan lebih menyengsarakan kelas menengah dibandingkan dengan kelompok ekonomi miskin.

Kelas Menengah ke Bawah Paling Tertekan dari Kebijakan PPN 12% Ilustrasi Penyusunan Anggaran | Freepik

Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang diwacanakan dimulai pada 2025 mendatang disebut-sebut akan lebih menyengsarakan kelompok ekonomi menengah, alih-alih kelompok masyarakat miskin. Ketika kelas miskin di Indonesia mendapatkan berbagai insentif sosial dari pemerintah, seperti program keluarga harapan, subsidi, atau bantuan sosial lainnya, kelas menengah tidak mendapatkan insentif apapun.

Tak hanya itu saja, kelas menengah yang rata-rata hanya memperoleh pendapatan dengan nominal setara upah minimum regional (UMR), juga akan semakin tertekan dengan adanya kebijakan kenaikan PPN tersebut. Penghasilan setara UMR cenderung hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehingga kenaikan PPN berpotensi memberikan tekanan ekonomi dan psikologis yang besar, khususnya bagi masyarakat kelompok ekonomi menengah.

Penurunan daya beli masyarakat kelas menengah juga akan terjadi apabila PPN dinaikkan, padahal masyarakat kelas menengah memainkan peran yang penting dalam perekonomian Indonesia.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Anny Ratnawati, seorang ekonom senior sekaligus Mantan Wakil Menteri Keuangan. Ia mengatakan bahwa kelas menengah berkontribusi banyak terhadap tingkat konsumsi rumah tangga di Indonesia, di mana konsumsi rumah tangga tersebut merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap perekonomian Indonesia, yang mampu mencapai lebih dari 50%.

Lantas, berapa jumlah kelas menengah di Indonesia? Apakah proporsinya paling banyak dibandingkan dengan kelas ekonomi yang lain?

Jumlah Kelas dari Berbagai Latar Belakang Ekonomi di Indonesia

Perkembangan Kelas dari Latar Belakang Ekonomi di Indonesia
Kelompok kelas menengah jumlahnya cenderung menurun, sedangkan kelompok menuju kelas menengah jumlahnya cenderung naik dalam lima tahun terakhir | GoodStats

Menurut data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia memang cenderung mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, tercatat jumlah kelas menengah tersebut adalah 57,33 juta jiwa. Kemudian, pada 2024 ini, jumlahnya hanya menjadi 47,85 juta jiwa saja.

Kebanyakan kelas menengah tersebut “turun kasta” ke kelompok calon kelas menengah atau menuju kelas menengah. Dapat dilihat pada infografik bahwa jumlah kelompok menuju kelas menengah cenderung mengalami kenaikan. Pada 2019, jumlahnya 128,85 juta jiwa, lalu pada 2024 ini jumlahnya melonjak di angka 137,5 juta jiwa. Adapun rincian jumlah (dalam juta jiwa) secara lebih lengkap beserta persentase (%) dari berbagai kelompok kelas tersebut adalah sebagai berikut.

Kelas 2019 2021 2022 2023 2024
 Jumlah  (Juta Jiwa)   Proporsi  (%)   Jumlah   Proporsi   Jumlah   Proporsi   Jumlah   Proporsi   Jumlah   Proporsi 
Miskin 25,14 9,41 27,54 10,14 26,16 9,54 25,90 9,36 25,22 9,03
Rentan Miskin 54,97 20,56 58,32 21,47 62,52 22,80 64,43 23,28 67,69 24,23
Menuju Kelas Menengah 128,85 48,20 130,82 48,17 134,93 49,21 136,92 49,47 137,50 49,22
Kelas Menengah 57,33 21,45 53,83 19,82 49,51 18,06 48,27 17,44 47,85 17,13
Kelas Atas 1,02 0,38 1,07 0,40 1,08 0,40 1,26 0,46 1,07 0,38

Dengan demikian, keputusan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% ini bukan merupakan hal yang bijak di tengah penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Menurut data BPS, pada September 2024 lalu, Indonesia tercatat mengalami deflasi terdalamnya di angka 0,12%.

Seharusnya, pemerintah dapat memperbaiki daya beli masyarakat terlebih dahulu, sebelum akhirnya mempertimbangkan untuk menaikkan pajak. Sebenarnya, apakah pajak menjadi jalan satu-satunya pemerintah untuk memperoleh pendapatan?

Pajak Sumbang Proporsi Terbesar Pendapatan Pemerintah

Sumber Pendapatan Pemerintah Tahun 2024
Pajak menyumbang proporsi terbesar dari pendapatan pemerintah dibandingkan dengan sumber lain | GoodStats

Menurut data BPS, pajak memiliki proporsi tertinggi dari pendapatan yang bisa diperoleh pemerintah. Persentase penerimaannya mencapai 82,4% atau Rp2.309,9 triliun pada 2024. Selanjutnya, proporsi pendapatan negara terbesar kedua setelah pajak adalah Sumber Daya Alam (SDA) dengan persentase 7,4% atau Rp207,7 triliun. Jumlah ini jelas terpaut sangat jauh dengan pajak.

Pada peringkat ketiga, terdapat penerimaan bukan pajak lainnya dengan persentase 4,1% atau Rp115,1 triliun. Berikutnya, pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai 3,1% atau Rp85,8 triliun. Terakhir, pendapatan pemerintah paling kecil didapatkan dari Badan Layanan Umum dengan persentase 3% atau Rp83,4 triliun.

Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa pajak menyumbang proporsi paling besar dari pendapatan pemerintah dibandingkan dengan sumber lain. Menaikkan PPN menjadi 12% dinilai menjadi cara instan pemerintah untuk menambah pendapatan negara.

Kenaikan PPN 12% Sebaiknya Tak Dipukul Rata ke Semua Kelas

Hanif Dhakiri, Wakil Ketua Komisi XI DPR, berpendapat bahwa penerapan kebijakan kenaikan PPN 12% sebaiknya tak dipukul rata ke semua kelas. 

“Daya beli masyarakat kita memang menurun dari beberapa fakta, tapi kita lihat penghasilannya, stagnan bahkan sebagian menurun. Itulah kenapa daya beli menurun, harga cenderung naik, penghasilan stagnan cenderung menurun,” papar Hanif pada Sabtu (14/15/2024), melansir Detik.

Hanif menilai bahwa ketika PPN yang naik itu diberlakukan sama bagi semua kelas, maka hal ini akan membebani masyarakat golongan menengah ke bawah. Walaupun memang kenaikan PPN ini akan mampu meningkatkan pendapatan negara hingga Rp80 triliun, tetapi melihat bagaimana kemampuan masyarakat juga menjadi hal krusial guna memastikan produktivitas penerapannya.

Baca Juga: Mulai Berlaku pada 2025, Simak Besaran UMP Terbaru di 38 Provinsi Indonesia

Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda
Editor: Editor

Konten Terkait

RAPBN 2025 Direncanakan Defisit 2,53%, Bagaimana Pembiayaannya?

RAPBN 2025 direncanakan defisit 2,53%, pembiayaannya difokuskan pada surat berharga negara dan pinjaman luar negeri.

Inflasi 1,71% Selama Oktober 2023-2024, Ini Penyebabnya

Inflasi Oktober 2024 di Indonesia tercatat sebesar 1,71%, inflasi bulanan 0,08%, dan 0,82% sejak awal tahun.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook