Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Komite Kekerasan Jurnalis (KKJ) mengecam tindakan penganiayaan kepada jurnalis oleh tiga orang anggota TNI Angkatan Laut (TNI AL) di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Hal ini disampaikan AJI melalui siaran persnya pada Selasa (2/4/2024) silam.
Secara lebih rinci, tiga anggota TNI AL ini diduga melakukan penganiayaan terhadap Sukandi Ali, seorang jurnalis media daring di Maluku Utara, pada Kamis (28/3/2024). Penganiayaan ini menyebabkan korban mendapatkan luka dan lebam di tubuhnya.
Adapun pelaku menuduh korban membuat berita tanpa ada klarifikasi sebelumnya kepada TNI AL. Namun, korban mengaku sudah mengklarifikasi berita tersebut sebelumnya. Berita yang dimaksud ialah berita berjudul "Puluhan Ribu KL BBM Diduga Milik Ditpolairud Polda Malut Ditahan AL di Halsel, Kepala KSOP II Ternate Diduga Terlibat" yang tayang di media Sidikkasus.co.id pada 26 Maret 2024.
Kebebasan Pers di Indonesia
Penganiayaan terhadap jurnalis ini patut mendapat kecaman karena dapat mengancam kebebasan pers di Indonesia. Dalam laporannya, AJI mengungkapkan Indeks Kebebasan Pers di Indonesia (IKP) belum pernah masuk kategori bebas dalam 10 tahun terakhir pada penilaian Reporters Without Borders (RSF).
RSF sendiri merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Prancis. Dalam hal ini RSF memberikan penilaian kebebasan pers yang didasarkan pada kuesioner dan pemetaan terhadap lima kategori atau indikator yang berbeda, yaitu politik, kerangka hukum, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan.
Hasilnya, Indonesia keluar sebagai negara keempat di ASEAN dengan IKP tertinggi pada 2023. Adapun skor kebebasan pers yang dimiliki Indonesia sebesar 53,73 dan membawa Indonesia menduduki peringkat ke-108 dunia.
Meskipun indeks kebebasan pers Indonesia telah naik sebesar 5,56 poin dan naik 9 peringkat dibandingkan data 2022, Indonesia memiliki selisih indeks kebebasan pers yang cukup jauh dengan Timor Leste di peringkat pertama. Adapun angka selisihnya mencapai 29,66 poin.
Selain itu, secara lebih rinci Indonesia mendapatkan skor sebesar 55,16 untuk indikator politik; 44,61 untuk indikator ekonomi; 63,92 untuk indikator kerangka hukum; 55,97 untuk indikator sosial budaya; dan sebesar 54,49 untuk indikator keamanan.
Lantas, bagaimana hubungannya penganiayaan jurnalis terhadap kebebasan pers di Indonesia?
Dalam laporannya yang berjudul "Krisis Kebebasan Pers di Tengah Darurat Iklim dan Erosi Demokrasi", AJI mengungkapkan sebagian besar lima indikator yang menjadi basis penilaian RSF masih bermasalah di Indonesia. Penganiayaan terhadap jurnalis masuk ke dalam indikator keamanan, yang mana AJI melaporkan jurnalis dan perusahaan media masih terus mengalami kekerasan akibat pemberitaannya.
Meningkatnya Kasus Kekerasan Jurnalis di Tahun Politik
Secara lebih lanjut, AJI juga telah menghimpun data kekerasan yang terjadi kepada jurnalis sejak 2006. Dalam 18 tahun terakhir ini, telah masuk 1.057 laporan kasus kekerasan jurnalis kepada AJI. Di mana salah satu yang terbaru adalah yang dialami oleh jurnalis asal Maluku Utara, sebagaimana yang disebutkan pada bagian awal artikel.
Secara keseluruhan jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sejak tahun 2006 hingga saat ini cenderung fluktuatif grafiknya. Namun, sejak 2021 terlihat kenaikan jumlah kasus yang signifikan. Di mana 2023 menjadi tahun dengan jumlah kasus tertinggi sejak 18 tahun terakhir ini. Hal ini diduga karena posisi 2023 sebagai tahun politik.
Dalam laporan Krisis Kebebasan Pers, AJI mengungkapkan keamanan jurnalis dan media semakin mengkhawatirkan saat tingginya tanggung jawab yang harus dipikul untuk menyediakan berita yang kredibel, akurat, dan kritis bagi publik di tahun politik.
"AJI Indonesia mendokumentasikan 89 kasus serangan dan hambatan dengan 83 individu jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media menjadi korban sepanjang 2023. Jumlah tersebut naik dibandingkan tahun 2022 sebanyak 61 kasus dan 41 kasus pada 2021," tulis AJI dalam laporannya.
Adapun serangan dan hambatan ini terjadi dalam bentuk teror, intimidasi dan ancaman, kekerasan fisik, serangan digital, larangan liputan, penghapusan hasil liputan, perusakan dan perampasan alat kerja, serta kriminalisasi dan gugatan perdata.
Pada 2023, AJI juga mencatat pelaku kekerasan terbanyak pada jurnalis dan media adalah aktor negara, yaitu sebanyak 36 kasus. Di mana 17 kasus kekerasan dilakukan oleh polisi, diikuti aparatur pemerintah (13 kasus), TNI (5 kasus), dan jaksa (1 kasus). Sedangkan, 29 kasus lainnya dilakukan oleh aktor non-negara dan 24 kasus lainnya tidak teridentifikasi pelakunya.
Sudahkah Hukum Berpihak pada Jurnalis?
Kebebasan pers sendiri telah dijamin dalam Pasal 4 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Adapun berikut adalah bunyi pasal tersebut.
- Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
- Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelanggaran penyiaran.
- Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
- Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Dewan Pers dalam artikelnya menyebutkan bahwa jaminan terhadap kebebasan pers memiliki hubungan dengan perlindungan wartawan. Hal ini dikarenakan tidak ada gunanya kemerdekaan pers tanpa wartawan yang tidak merdeka dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik sesuai tuntutan profesinya.
Dengan demikian, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 50 KUHP, di mana wartawan dan media sebagai pelaksana UU No.40 Tahun 1999 tidak boleh dipidana.
Lantas, bagaimana realita praktik hukumnya di lapangan? Tentunya, data AJI yang menunjukkan banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis sudah mampu menunjukkan ancaman terhadap kebebasan pers dan perlindungan wartawan itu sendiri.
"Setiap serangan pada jurnalis yang terkait dengan aktivitas jurnalistik, merupakan serangan terhadap kebebasan pers yang telah dijamin oleh berbagai instrumen HAM internasional, konstitusi, dan undang-undang di Indonesia," tulis AJI dalam laporannya.
Selain itu pada faktanya di lapangan, tidak semua kasus kekerasan terhadap jurnalis diselesaikan dengan baik oleh pihak berwajib meskipun sudah ada landasan hukum yang melindungi pekerjaan wartawan.
AJI mencatat, dari 89 kasus yang terjadi sepanjang 2023, hanya sekitar 22% yang telah dilaporkan ke polisi atau tepatnya sebanyak 20 kasus. Di mana, 65% atau sebanyak 13 kasus dari 20 kasus tersebut di antaranya belum ada tindak lanjut, tidak ada keterangan, dan belum ada pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara itu, sebanyak 35% atau 37 kasus lainnya tercatat ada kejelasan dalam perkembangan kasusnya. Secara lebih spesifik, 4 kasus telah ditangkap pelakunya, 2 kasus telah mendapatkan vonis dari majelis hakim, dan 1 kasus yang semula dihentikan mendapatkan kembali pembukaan penyidikan.
Upaya Preventif dan Penanganan yang Efektif
Melihat bagaimana maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis serta masih mengkhawatirkannya penegakan hukum di Indonesia, perlindungan terhadap wartawan dan kebebasan pers memang memerlukan perhatian khusus dalam upaya pencegahan, penanggulangan, dan penyelesaiannya dari berbagai pihak.
Dalam artikelnya, AJI mengingatkan pekerja media, baik cetak maupun elektronik untuk menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ), menjalankan Standar Perilaku Penyiaran, mengedepankan sikap independen, dan tidak partisan dalam melaksanakan tugas peliputan. Hal ini dinilai AJI dapat membantu untuk mengurangi potensi kekerasan terhadap wartawan di lapangan.
Selain itu melansir dari Green Network Indonesia, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengungkapkan diperlukannya upaya sistemik untuk mencegah keberulangan kekerasan dan upaya penangan yang sinergis dan kolaboratif dari berbagai pihak.
Sependapat dengan hal tersebut, dalam kesempatan yang berbeda Komisioner Komnas HAM RI M. Choirul Anam juga mengungkapkan pentingnya membangun mekanisme yang efektif terhadap penanganan kasus jurnalis dan pemantauan kebebasan pers. Secara lebih spesifik Anam mengungkapkan
"Perlunya sinergi secara mekanisme penerapan SOP, yakni tidak hanya antara turunan MoU dengan Kepolisian, tetapi juga mekanisme Komnas HAM dengan Dewan Pers," ungkap Anam pada FGD Efektivitas Mekanisme Penanganan Kasus Jurnalis dan Pemantauan Kebebasan Pers pada Jumat (24/06/2022) silam.
Dengan demikian, upaya penanganan kasus kekerasan jurnalis ini memang membutuhkan upaya kolaboratif dari berbagai pihak agar berjalan efektif. Meski demikian, wartawan juga harus dapat membekali keselamatan diri dengan menaati pedoman profesi jurnalis yang berlaku dan menerapkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
Penulis: Nur Aini Rasyid
Editor: Iip M Aditiya