Isu pengangguran masih jadi salah satu persoalan yang berakar di Indonesia. Dari tahun ke tahun, tingkat pengangguran tercatat terus meningkat, terutama di kalangan anak muda. Banyak lulusan sarjana yang kesulitan mencari pekerjaan, padahal sudah didukung almamater bergengsi dan gelar mumpuni. Semakin sedikit angkatan kerja yang terserap di pasar dan industri, yang lantas menimbulkan tanda tanya, siapa yang salah dalam hal ini? Kualifikasi calon pekerja yang tidak sesuai atau industri yang semakin lama semakin berkurang?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 menyebutkan bahwa jumlah angkatan kerja di Indonesia saat ini mencapai 153,05 juta orang, bertambah 3,67 juta orang dari Februari 2024. Di antara jumlah tersebut, 145,77 juta orang termasuk penduduk bekerja, naik 3,59 juta dibanding Februari 2024. Lapangan usaha yang paling mengalami peningkatan tertinggi adalah perdagangan besar dan eceran; reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor yang mencapai 0,98 juta orang.
Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2025 pun mencapai 4,76%. Meski jika dilihat dari persentasenya, angkanya menurun, jumlah pengangguran di Indonesia meningkat, mencapai 7,28 juta orang, naik 1,1% atau sekitar 80 ribu dibanding Februari 2024.
"Dibanding Februari 2024, per Februari 2025 jumlah orang yang menganggur meningkat sebanyak 0,08 juta orang atau 83 ribu orang yang naik kira-kira 1,11%," ujar Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025).
Tingkat pengangguran terbuka merupakan proporsi angkatan kerja yang menganggur dari total angkatan kerja nasional. Dengan demikian, meskipun jumlah pengangguran meningkat secara tahunan, tingkat pengangguran terbuka bisa saja turun, tergantung jumlah angkatan kerja di periode tersebut. Pengangguran yang dimaksud adalah kelompok penduduk berusia di atas 15 tahun yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan, tidak bekerja dan sedang mempersiapkan usaha baru, sudah diterima bekerja atau sudah siap berusaha tapi belum mulai, atau mereka yang tidak bekerja dan merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (putus asa).
Ditinjau dari jenis kelamin, TPT pada perempuan tercatat sebesar 4,41%, sedangkan pada laki-laki sebesar 4,98%. Berdasarkan wilayah, TPT lebih banyak ditemukan di perkotaan, mencapai 5,73%, sedangkan di pedesaan sebesar 3,33%.
Akibat PHK
Tingginya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu penyebab bertambahnya jumlah pengangguran. Menurut Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, korban PHK di Indonesia sampai 23 April 2025 sudah mencapai 24.036 orang. Sebelumnya pada 2024, total korban PHK sebanyak 77.964 orang.
“Jadi sudah sepertiga dari tahun 2024. Jadi kalau ada yang bertanya PHK year to year saat ini dibanding tahun lalu memang meningkat,” tutur Yassierli dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Senin (5/5)..
Tahun ini, PHK paling banyak ditemukan di Jawa Tengah, mencapai 10.629 orang, diikuti Jakarta dengan 4.696 korban dan Riau dengan 3.546 orang.
Industri pengolahan jadi yang paling banyak melakukan PHK terhadap karyawannya, totalnya mencapai 16.801 korban.
“Tiga sektor terbanyak adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, dan aktivitas jasa lain,” lanjutnya.
Menurut Yassierli, tingginya gelombang PHK pada 2025 ini diakibatkan banyak perusahaan yang mengalami kerugian akibat kondisi pasar yang tidak pasti, baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, ada pula faktor relokasi, di mana kini kebanyakan perusahaan memilih mencari buruh yang lebih murah.
“Jadi penyebab PHK juga beragam sehingga ketika ditanya mitigasinya seperti apa kita harus lihat case by case-nya seperti apa,” ujar Yassierli.
Baca Juga: Gelombang PHK di Awal 2025
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor