Di pengujung 1950-an, Indonesia pernah diguncang krisis keuangan. Pada awal dekade itu, krisis serupa juga pernah menyerang. Tapi kali ini, keguncangan finansial tampaknya lebih fatal.
Negara bahkan mengalami defisit anggaran, dari 29,7% pada 1961, kemudian berturut-turut 38,7% (1962), 50,8% (1963), 58,4% (1964), hingga 63,4% (1965).
Sanering (pemotongan nilai mata uang) hingga redenominasi (penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai tukar) diterapkan. Namun, kian rumit dan panasnya situasi politik membuat upaya perbaikan moneter gagal total.
Ditambah lagi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang akhirnya menumbangkan rezim orde lama.
Indonesia berada di titik nadir, sederet persoalan tersebut mengakibatkan inflasi yang cukup parah. Pada 1966 inflasi meroket hingga 635%, harga melambung tinggi, ekonomi kolaps, seketika negara menjadi kacau.
Negara paling miskin di Asia
Tak banyak yang tahu, bahwa negara kita pernah begitu melarat. Setahun setelah terjadi hyperinflasi, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita RI hanya senilai $53, menjadikan Indonesia sebagai negara paling miskin di Asia.
Data yang dirilis oleh World Bank menunjukkan, pada 1967 Indonesia berada di peringkat ke-3 sebagai negara termiskin di dunia, tepat satu tingkat dibawah Mali, sejajar dengan negara-negara Afrika. Lebih miskin dari India, Vietnam, bahkan negeri konflik Afghanistan.
Melesatnya ekonomi dan hantaman krisis moneter
Gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan membuat rezim orde lama dipaksa mundur. Soekarno yang terdesak akhirnya menyerahkan takhta kepemimpinannya kepada Soeharto.
Utang luar negeri menggunung, defisit anggaran melebar, inflasi meroket, kemiskinan hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan Soeharto.
Perombakan lini dan struktur ekonomi dilakukan secara besar-besaran, pembangunan pesat mulai digalakan, langkah cepat pemulihan ekonomi pun diambil.
Belum genap satu tahun menjabat, Soeharto langsung mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI melalui UU no 1 Tahun 1967.
Undang-undang tersebut bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, berupa investasi di berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus sebagai upaya mengembalikan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keamanan Indonesia di mata dunia.
Tercatat, sejak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang telah ditanamkan di Indonesia telah mencapai lebih dari $9 miliar dari 30 negara.
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan orba, ekonomi Indonesia tumbuh dari PDB per kapita $53 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5-10%, rupiah cukup stabil dan dapat diterka.
Pada pertengahan 1980 pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak.
PDB tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1996, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Puncaknya pada awal dekade ke-19, ekonomi RI menunjukkan progress yang meyakinkan. Pembangunan pesat, kurun waktu 1990-1996 PDB per kapita RI meningkat dari $771 menjadi $1.394, naik hampir 100 persen.
Namun sayang, krismon menghancurkan semuanya.
Pada 1998 pertumbuhan ekonomi RI terkoreksi -13,1%. PDB per kapita ikut terjun ke angka $572, nominal tersebut seolah membawa kembali ke tahun 1980 ($673) atau mundur hingga 18 tahun.
Era orde baru ditutup pada krisis Asia 1998, krisis moneter yang berujung pada krisis ekonomi dan politik mendorong terpuruknya perekonomian Indonesia. Kekacauan memuncak tatkala demo besar terjadi. Soeharto dipaksa mundur, rezim yang dikenal korup dan bergaya otoriter akhirnya runtuh.
Bangkit pasca krismon
Runtuhnya rezim orde baru memaksa Soeharto lengser, Habibie kemudian ditunjuk sebagai pengganti.
Tak butuh waktu lama untuk bangkit, setahun setalah krismon, ekonomi RI kembali melesat. Pada 1999 PDB per kapita Indonesia naik 45% dari $572 menjadi $830.
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp16.650 per dolar AS pada Juni 1998 menjadi Rp7.000 per dolar AS pada November 1998.
Kebangkitan ekonomi pasca krismon harus dibayar mahal dengan merdekanya Timor Leste. Banyak pihak yang menyayangkan, namun keluarnya Timor Leste dari RI tidak terlalu diambil pusing. Strategi pemulihan ekonomi tetap digalakan.
Tiba di tahun 2005 di mana PDB per kapita RI menyentuh angka $1.404, catatan tersebut menyamai nominal pada 1996 ($1.394). Itu artinya, perlu sekitar 6 tahun untuk menstabilkan ekonomi pasca krismon.
Pada kurun waktu tersebut, Indonesia berhasil keluar dari status negara low income menjadi lower middle income atau negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Catat pertumbuhan tertinggi
Sebelum mencatatkan pertumbuhan tertinggi, terjadi krisis keuangan global 2008, kolapsnya sektor perumahan AS (Subprime Mortgage), kolapsnya bank besar AS dan negara maju (investment bank besar seperti Lehman Brothers). Kolapsnya sektor keuangan, terutama pasar modal, berdampak pada kondisi ekonomi global termasuk negara berkembang.
Menariknya, perekonomian Indonesia justru mampu survive, bahkan menjadi salah satu yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi di dunia.
Kemudian Pada 2010, pertumbuhan ekonomi RI berhasil mencatatkan angka tertinggi pasca krismon. Persentasenya mencapai 6.4%, nominal PDB meningkat dari $577.539 juta menjadi $755.256 juta.
Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi berbading lurus dengan peningkatan PDB per kapita. Pada 2010 PDB per kapita RI tembus $3.178, persentasenya naik 28,9% dari periode sebelumnya.
Puncaknya pada 2012, PDB per kapita RI mencatatkan angka tertinggi ($3.745). Selangkah lagi menuju nenuju negara berpenghasilan menengah ke atas.
Roller coaster ekonomi RI
Hantaman krisis pun tak terbendung, periode 2013-2015 PDB per kapita Indonesia kembali terkoreksi. Pelemahan rupiah dan sederet persoalan lain membuat ekonomi Indonesia kelabakan.
Harapan Indonesia menuju negara berpenghasilan tinggi kembali terhambat.
Kolapsnya ekonomi RI membuat pemerintah berpikir keras, Jokowi kemudian mengeluarkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi untuk meningkatkan daya saing industri nasional, ekspor dan investasi untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Dilakukan reformasi di enam area, meningkatkan iklim investasi, mendorong daya saing industri, promosi pariwisata, meningkatkan efisiensi logistik, stimulasi ekspor, memperkuat daya beli masyarakat.
Selain peningkatan kualitas SDM dan penekanan angka kemiskinan, perbaikan iklim Investasi dan pembangunan infrastuktur menjadi salah satu fokus utama pemerintah yang gaungnya begitu terlihat.
Tak berselang lama, iklim investasi RI mengalami peningkatan indikator antara lain, Ranking World Competitiveness Indonesia membaik dari 48 pada tahun 2016 menjadi 32 pada tahun 2019. Indonesia meraih status negara Investment Grade dari semua lembaga rating. Ease of Doing Business Indonesia terus membaik dari tingkat 129 tahun 2013 menjadi 73 pada tahun 2019. Pembangunan Infrastruktur dilakukan pada 226 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Ekonomi RI kembali melesat. Kurun waktu 2016-2019 (setelah dijalankannya kebijakan), PDB per kapita Indonesia naik cukup signifikan. Pada 2019 PDB per kapita RI menyentuh angka $4.135. Sementara Produk Natonal Bruro (PNB) per kapita RI ikut tembus ke angka $4.046.
Catatan tersebut membuat Indonesia naik kelas dari negara berpenghasilan menengah ke bawah menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income).
Sempat naik kelas, namun turun kembali imbas pandemi
Di tengah pandemi Covid-19, pada tanggal 1 Juli 2020, Bank Dunia menaikkan status Indonesia dari lower middle income country menjadi upper middle income country.
Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun 2019 naik menjadi USD4.050 dari posisi sebelumnya USD3.840.
Hingga tahun 2019, World Bank membuat klasifikasi negara berdasarkan GNI per capita dalam 4 kategori, yaitu: Low Income ($1.035), Lower Middle Income ($1.036-$4.045), Upper Middle Income ($4.046-$12.535) dan High Income (>$12.535).
Di tahun pertama pandemi (2020), di mana kegoncangan ekonomi amat terasa membuat GNI Indonesia terkoreksi ke angka $3.870. Angka ini membuat Indonesia turun kelas ke lower middle income.
Kendati setahun kemudian (2021) naik ke angka $4.140, Indonesia masih tetap dikategorikan sebagai lower middle income. Hal tersebut dikarenakan adanya penyesuaian kategori terbaru dari World Bank di mana negara menengah bawah memiliki GNI per kapita di kisaran US$1.086–US$4.255.
Rincian update pengelompokkan GNI per kapita yang ditetapkan World Bank mulai berlaku per 1 Juli 2022. Rincian lengkap: Low Income (<$1.085), Lower Middle Income ($1.086-$4.255), Upper Middle Income ($4.256-$13.205) dan High Income (>$13.205).
Bagaimaan proyeksi 2022?
International Monetery Fund atau IMF (data World Bank belum dirilis) memproyeksikan, pada 2022 PDB per kapita kembali melesat naik ke angka $4.691
Jika dihitung secara kelipatan, periode 1967-2022 PDB per kapita RI melonjak 80 kali lipat atau meningkat sekitar 7.800%.
Sementara jika dilihat dari segi peringkat, PDB per kapita RI pada 2022 menempati urutan 113 dari 192 negara. Tepat satu tingkat di atas Yordania.
Sedangkan total PDB berada di peringkat 17 ($1.289.429 juta) tepat satu tingkat di atas Arab Saudi dan satu tingkat di bawah Meksiko.
Menuju Negara Berpenghasilan Tinggi
Jauh sebelum adanya pandemi covid-19, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2020-2024, pemerintah menargetkan Indonesia bisa naik kelas menjadi negara “high income” (berpendapatan tinggi) pada 2036.
Pemerintah memproyeksikan PDB per kapita RI (2036) tembus $12,2 ribu atau Rp171,3 juta, dengan catatan kondisi ekonomi dalam keadaan stabil.
Perjalanan dari negara paling miskin di Asia hingga naik kelas menjadi “upper middle income” merupakan suatu capaian yang luar biasa.
Untuk kembali naik kelas menuju “high income”, kerja sama dan bahu membahu antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat mutlak perlu dilakukan.
Cepat atau lambat, semoga target tersebut bisa tercapai. Setidaknya mulai dirasakan oleh anak cucu kita, kelak.
Penulis: Iip M Aditiya