Kekerasan seksual adalah isu yang sudah lama menjadi permasalahan masyarakat di dunia. Di Indonesia sendiri, kata pelecehan sudah menjadi hal yang akrab di telinga karena banyaknya kasus pelecehan yang terjadi tiap tahunnya dan tidak kunjung selesai.
Meski dinilai telah memiliki sejumlah kebijakan yang mengatur mengenai tindak pidana pelaku kekerasan seksual, namun hal itu tidak menjamin rasa aman. Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan pada tempat yang dianggap paling aman sekalipun seperti rumah dan sekolah.
Tercatat bahwa Komnas Perempuan telah menerima sebanyak 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang periode Januari-Oktober 2021. Jumlah ini mengalami lonjakan drastis dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Maka, tidak heran jika saat ini Indonesia dilabeli "Darurat" kekerasan seksual karena ruang aman bagi perempuan menjadi semakin sempit, bahkan kini merambat ke dunia maya.
Darurat kekerasan seksual yang kerap terjadi saat ini tak bisa bila hanya dimaknai dengan makin tinggi atau ekstrimnya angka kekerasan saja, namun justru kegagalan dalam pengusutan serta penanganan kasus yang terjadi sehingga membuat para korban merasa semakin tak berdaya dan kehilangan rasa aman.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dalam laporannya menyebut bahwa kekerasan di antara anak-anak muda telah menjadi isu kesehatan masyarakat dunia. Kekerasan yang dimaksud meliputi kekerasan seksual, kekerasan fisik, perundungan, hingga pembunuhan.
Meski sebagian besar terjadi pada kaum muda laki-laki, namun ini tidak menjamin tiap perempuan muda memiliki rasa aman. Faktanya, WHO mengatakan terdapat studi yang melaporkan bahwa pengalaman seksual pertama pada 3-24 persen perempuan muda adalah kekerasan seksual. Artinya, secara umum tiap satu dari delapan kaum perempuan muda adalah korban kekerasan seksual.
Lantas bagaimana pandangan generasi muda sejauh ini terhadap kasus pelecehan seksual yang menjamur di Indonesia?
Isu pelecehan kini jadi perhatian utama kaum muda Indonesia
Good News From Indonesia (GNFI) baru-baru ini melakukan survei yang berkenaan tentang indeks optimisme. Bersama dengan lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) sebagai rekan, survei ini bertujuan untuk menguji tingkat optimisme anak muda tanah air terhadap masa depan Indonesia.
Adapun, survei menggunakan metode telesurvei atau survei melalui telepon dalam periode tanggal 7 hingga 22 Juli 2022. Jangkauan respondennya pun luas mencakup sebelas kota besar di Indonesia, yaitu Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Banjarmasin, hingga Makassar.
Jika melihat kilas balik pada tahun sebelumnya, dalam survei yang sama, sebanyak 72 persen responden menjawab optimis dengan keadaan Indonesia di masa mendatang. Meski berada di tengah pandemi yang penuh ketidakpastian, justru ada kenaikan tingkat optimisme dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dari sejumlah 906 responden, isu pelecehan seksual merupakan isu yang menjadi perhatian utama kaum muda Indonesia berdasarkan data survei. Sekitar 13,7 persen responden memilih isu pelecehan seksual sebagai perhatian utama di atas beragam isu yang terjadi di Indonesia.
“Saat ini, isu top of mind atau paling memprihatinkan bagi generasi muda adalah pelecehan seksual. Berarti sudah banyak yang sadar. Kita sebagai aktivis telah menjalankan tugas untuk mengedukasi masyarakat tentang permasalahan kekerasan seksual di Indonesia, fenomena gunung es yang akan berdampak pada perdagangan dan eksploitasi seksual," Ujar Rahayu Saraswati selaku Founder dan Chairwoman Parinama Astha Foundation saat Focus Group Discussion (FGD) pada Rabu, (10/8).
Survei pun berusaha mengulik permasalahan utama yang tengah Indonesia hadapi. Menurut pengungkapan generasi muda, jawaban teratasnya adalah kasus korupsi sebanyak 19,8 persen, kenaikan harga kebutuhan pokok sejumlah 14,1 persen serta kondisi ekonomi belum yang stabil mencapai 11,6 persen. Akan tetapi, pelecehan seksual menempati posisi ke-18 dengan persentase 1,2 persen. Angka itu di bawah permasalahan kondisi keuangan keluarga menurut generasi muda sebagai permasalahan utama yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia dengan persentase 1,5 persen.
Rahayu mengatakan bahwa generasi muda sebaiknya berusaha fokus hal positif terlebih dahulu agar nantinya bisa menguatkan Indonesia dan tidak mudah untuk patah semangat. Baginya, optimisme berarti generasi muda mau melakukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
"Optimismenya, lebih banyak kasus terungkap merupakan hal baik. Masyarakat memiliki perasaan berani untuk melaporkan. Sehingga, tidak ada lagi rasa takut, menahan diri, dan malu,” ungkap Rahayu.
Isu pelecehan merupakan isu menahun di Indonesia yang tak kunjung usai
Pelecehan seksual bukanlah hal yang baru. Dari waktu ke waktu, permasalahan ini tak kunjung berujung. Bahkan, bukannya semakin berkurang, angka kasus pelecehan seksual malah semakin banyak dari tahun ke tahun. Dengan begitu, pemerintah perlu membuat regulasi yang mengatur mengenai kasus pelecehan seksual sehingga para korban setidaknya bisa bernapas lega karena dilindungi hukum.
Indonesia kini sudah memiliki Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan pada bulan April 2022 lalu. Pemerintah serta merta berharap agar implementasi undang-undang ini bisa digunakan untuk menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual serta perlindungan anak di Indonesia.
Menurut UU TPKS, terdapat sembilan bentuk kekerasan seksual yaitu perkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pernikahan paksa, pemaksaan pelacuran, pemaksaan kontrasepsi, serta pemaksaan aborsi.
Sebelum disahkannya UU TPKS, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada ribuan kasus kekerasan seksual tiap tahunnya. Selama periode tahun 2016-2020, terdapat 5.200 laporan kasus kejahatan kesusilaan di Indonesia. BPS mendefinisikan hal ini sebagai kasus perkosaan dan pencabulan.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya mengatakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS sudah bisa digunakan meskipun aturan turunan regulasi itu belum ada. Ia menuturkan bahwa UU tersebut memiliki kelebihan yang bisa dipakai aparat penegak hukum untuk memproses berbagai kasus tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pada anak.
"Ketika UU itu disahkan, UU TPKS, baik delik dan hukum acara pidananya sudah bisa langsung dieksekusi tanpa peraturan turunan," ujar Willy seperti yang dikutip dari CNNIndonesia.
Namun, ia juga tidak memungkiri jika kasus kekerasan seksual masih marak terjadi setelah pengesahan UU TPKS. Ia berharap agar semua pihak bahu membahu untuk membangun kesadaran publik dalam mencegah kekerasan seksual.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya