Indeks daya saing daerah berkelanjutan (IDSDB) merupakan gabungan dari empat pilar, yaitu lingkungan lestari, ekonomi berkelanjutan, inklusi sosial, serta tata kelola berkelanjutan. Tujuan rancangan ini adalah untuk mengukur kinerja daerah sebagai bahan evaluasi pemerintah.
Sejak tahun 2019, konsorium IDSDB membentuk pengukuran yang ditujukan untuk mendukung komitmen berkelanjutan yang tengah berlangsung di Indonesia. Adapun, Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan target pembangunan berkelanjutan (TPB) dan pembangunan rendah karbon (PRK).
Komitmen ini selaras dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan daya saing di kancah internasional. Sayangnya, peringkat Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Indonesia menempati posisi kelima dari total 38 negara dengan skor 64,63 berdasarkan laporan Asia Competitive Index tahun 2019. Sementara, dalam ukuran global melalui laporan Global Competitive Index, Indonesia berada di posisi ke-50 dari total 63 negara.
Lead Konsorium IDSDB Herman Suparman berharap, IDSDB dapat menjadi salah satu acuan penguatan pembangunan daerah dan nasional. Hasil dari pengukuran ini juga diharapkan menjadi referensi insentif publik dan non-publik.
“Melalui ini (IDSDB), pemerintah daerah bisa bisa mengukur tingkat daya saing dan membuka ruang untuk berbagai inovasi. Pemerintah daerah juga dapat meraih apresiasi dan insentif untuk peningkatan kapasitas,” ujarnya seperti dikutip dari Katadata.
Bagaimana strategi dan tantangan yang dihadapi dalam menciptakan daya saing daerah berkelanjutan? Lalu, provinsi mana yang memiliki skor indeks tertinggi di Indonesia?
Bali miliki skor IDSDB tertinggi
Melansir laman resmi IDSDB, keberlanjutan merupakan proses perubahan yang memuat seluruh aktivitas sumber daya, arah investasi, perubahan kelembagaan, dan lain-lain dalam porsi seimbang untuk meningkatkan potensi.
Adapun, Bali dinobatkan sebagai provinsi dengan skor IDSDB tertinggi mencapai 65,13. Rinciannya adalah skor 56,45 untuk pilar lingkungan lestari, skor 61,46 untuk pilar ekonomi berkelanjutan, skor 74,17 untuk inklusi sosial, dan 70,99 untuk tata kelola berkelanjutan.
Hasil pengukuran indeks dirumuskan dalam skala 0-100 dengan kategorisasi yakni, skor 0-30 berarti daya saingnya rendah, skor 30,01-60 daya saing sedang, skor 60,01-80 daya saing tinggi, dan skor 80,01-100 daya saing sangat tinggi.
Jika ditinjau berdasarkan keempat pilar IDSDB, DI Yogyakarta berhasil dinobatkan sebagai provinsi dengan indeks daya saing tertinggi di bidang tata kelola berkelanjutan dengan skor mencapai 77,39. Angka ini termasuk ke dalam skala tinggi serta menjadi skor paling baik dari total 29 provinsi yang ditelaah.
Menurut IDSDB, tata kelola pemerintahan merupakan faktor penting dalam membentuk ekosistem pembangunan. Tedapat sejumlah elemen yang menjadi penyangga pada pilar ini, yakni akuntabilitas aktor, transparansi sistem, serta partisipasi publik.
Sementara, Kepulauan Riau dinobatkan menjadi provinsi dengan skor tertinggi pada bidang ekonomi berkelanjutan 2022. Melansir laman IDSDB, Kepulauan Riau mendapatkan skor 62,78 dan termasuk ke dalam skala tinggi.
Selanjutnya, Kalimantan Utara berhasil menjadi provinsi dengan indeks daya saing tertinggi di bidang kelestarian lingkungan. Mengutip IDSDB, provinsi ini memiliki skor mencapai 62,89 dan termasuk ke dalam skala tinggi.
Lalu, untuk daya saing tertinggi pada bidang inklusi sosial berhasil diraih oleh provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan skor mencapai 74,35. Ini juga merupakan skala tinggi. Inklusi sosial menekankan pentingnya pemupukan modal manusia dan akses pada berbagai kesempatan ekonomi dalam peningkatan kualitas hidup.
Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini
Eduardo Edwin Ramda selaku periset IDSSB menyebut, belum ada daerah yang memiliki data mumpuni. Padahal, data merupakan bagian penting terhadap daya saing daerah. Menurutnya, minimnya data dari tiap daerah membuat daya saing daerah sulit dibangun dengan seimbang.
“Kita masih mendengar ada daerah yang fokus pada pembangunan ekonomi, tapi ternyata masih ada bisnis yang merusak lingkungan. Tidak semua daerah punya spirit yang sama untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan,” tuturnya seperti dikutip dari SWA.
Sehubungan dengan ini, Yudi Widayanto selaku Koordinator Penelitian dan Pengukuran Riset, Teknologi dan Inovasi Deputi Kebijakan Riset dan Inovasi memaparkan hal senada. Ia menjelaskan, pengukuran daya saing berkelanjutan akan lebih mudah jika data yang ada di dalam Satu Data Indonesia lengkap.
“Data memang masih menjadi tantangan, karena tidak semua daerah memiliki sumber daya untuk melengkapi data. Ini masih menjadi pr bagi kita semua,” ujarnya.
Yudi melanjutkan, keberadaan BRIN di sejumlah daerah bisa membantu percepatan pembangunan dan menciptakan daya saing. Ia juga menyebut bahwa BRIN memiliki 85 pusat riset dan inovasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
“Dalam melihat daya saing ini, perlu mempertimbangkan beberapa hal dalam proses penyediaan data. Itikad baik pemerintah harus dimulai dari satuan pemerintahan terkecil, yakni desa. Basis data terdepan ada di desa,” jelasnya.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya