Kemiskinan selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Ironisnya, semenarik apa pun pembahasannya, kemiskinan takkan pernah menarik untuk dirasakan. Bagi jutaan orang, kemiskinan bukanlah teori atau data statistik, melainkan kehidupan sehari-hari yang penuh keterbatasan dan perjuangan.
Selain itu, bagi para intelektual maupun masyarakat umum, membahas standar kemiskinan versi BPS dan World Bank mungkin menjadi topik yang hangat dan menggugah. Angka-angka, garis batas, serta indikator statistik menjadi bahan perdebatan yang serius dan panjang. Namun bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang setiap harinya harus memikirkan apakah esok masih bisa makan atau tidak, perdebatan semacam itu tidak pernah benar-benar penting. Standar kemiskinan, bagi mereka, bukanlah tentang angka rupiah per kapita per hari, melainkan sesederhana: "Apakah hari ini anak dan istri saya bisa makan?"
Sampai sini, diharapkan garis kemiskinan bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Lebih jauh dari itu, kemiskinan merupakan hal yang harus bersama-sama dipahami dan tentunya harus dihapuskan.
Garis Kemiskinan BPS
Berdasarkan data BPS, garis kemiskinan bulan September 2024 yaitu sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Ingat, angka tersebut untuk hitungan per orang dalam satu bulan, dalam realita lapangan pengeluaran lebih mudah didekatkan dengan pengeluaran per keluarga atau rumah tangga. Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per rumah tangga per bulan.
Dalam membahas kemiskinan, secara resmi indonesia menggunakan konsep yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik. Penghitungan kemiskinan oleh BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), di mana kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan, yang diukur berdasarkan garis kemiskinan. Penduduk dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai miskin.
Garis kemiskinan terbentuk sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan. Dari kebutuhan dasar tersebut terbentuklah garis kemiskinan makanan dan non-makanan. Kebutuhan pangan tergambarkan melalui garis kemiskinan makanan, di mana dihitung berdasarkan kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari. Sedangkan untuk kebutuhan sandang dan papan terjelaskan melalui garis kemiskinan non-makanan seperti kebutuhan untuk pakaian, perumahan dan lain-lain yang meliputi sewa rumah, listrik, air, dan kebutuhan lainnya.
Terlihat bahwa garis kemiskinan di beberapa daerah lebih tinggi dari garis kemiskinan di daerah lain. Hal itu disebabkan oleh berbagai hal diantaranya tingginya harga kebutuhan di daerah tersebut. Sebagai contoh, garis kemiskinan di DKI Jakarta sebesar Rp846.085 per kapita per bulan atau mencapai Rp4.238.886 per rumah tangga per bulan, di mana rata-rata rumah tangga miskin di DKI Jakarta terdiri dari 5,01 anggota rumah tangga. Sedangkan, garis kemiskinan di Jawa Tengah sebesar Rp521.093 per kapita per bulan atau dikonversi menjadi Rp2.318.864 per rumah tangga per bulan dengan rata-rata rumah tangga miskin di Jawa Tengah sebanyak 4,45 anggota rumah tangga.
Perbedaan garis kemiskinan tiap daerah menggambarkan bahwa keadaan sosial ekonomi setiap daerah berbeda. Oleh karena itu, memahami garis kemiskinan sama saja dengan memahami realitas hidup masyarakat. Garis kemiskinan bukan hanya soal angka akan tetapi tentang bagaimana masyarakat dapat hidup dengan layak, mengakses pendidikan, menjaga kesehatan, dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Garis Kemiskinan World Bank
Sementara, garis kemiskinan atau poverty line versi World Bank berdasarkan harmonized poverty line yaitu pendekatan pengukuran kemiskinan global oleh World Bank yang menyamakan standar konsumsi antarnegara, menggunakan daya beli riil (PPP), agar hasil kemiskinan antar negara bisa dibandingkan secara adil. Terdapat 3 poverty line world bank menggunakan standar PPP (Purchasing Power Parity) 2017.
- US$2,15 PPP untuk level extremely poor yang digunakan untuk negara pendapatan rendah (lower-income country)
- US$3,65 PPP untuk level moderately poor yang digunakan untuk negara pendapatan menengah kebawah (lower-middle income country)
- US$6,85 PPP untuk level vulnerable poor yang digunakan untuk negara pendapatan menengah keatas (upper-middle income country)
World Bank mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas atau upper-middle income country (UMIC) dikarenakan PDB per kapita tahun 2024 sebesar US$4.960,3. Rentang kategori UMIC versi world bank dengan batas bawah US$4.516 dan batas atas US$14.005, yang artinya walaupun Indonesia masuk ke kategori UMIC namun lebih mendekati batas bawah.
Poverty line versi World Bank untuk negara dengan pendapatan menengah keatas yaitu sebesar US$6,85 PPP per kapita per hari. Satuan US$ PPP adalah satuan dolar internasional yang sudah disesuaikan dengan daya beli di masing-masing negara, bukan kurs resmi. Agar mudah dipahami dapat diilustrasikan, apabila harga sepotong roti di Amerika dapat dibeli dengan US$1 dan di Indonesia sepotong roti tersebut dapat dibeli dengan Rp5.000. Sehingga, kurs US$1 PPP setara Rp5.000.
Satuan US$ PPP (Purchasing Power Parity) digunakan dengan tujuan agar bisa membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara secara adil dan setara, bukan berdasarkan kurs nominal mata uang. Pada tahun 2024, kurs US$ PPP setara Rp5.993,03. Nilai PPP tersebut jauh berbeda dengan kurs resmi yang sekitar Rp16.000.
Dengan poverty line sebesar US$6,85 PPP per kapita per hari atau Rp41.052,25 per kapita per hari, jika dikonversi kembali menjadi per bulan sebesar Rp1.231.568 per kapita. Nilai tersebut sangat berbeda dengan garis kemiskinan versi BPS yang sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Perbedaan standar kemiskinan tersebut dikarenakan perbedaan metode dan tujuan penghitungan.
Kesimpulan
Perbedaan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS dan World Bank terjadi karena perbedaan metode penghitungan. Garis kemiskinan yang digunakan oleh World Bank berdasarkan nilai tertentu yang telah ditentukan dan disesuaikan dengan daya beli (purchasing power parity) tiap negara dengan tujuan untuk melakukan perbandingan kemiskinan secara global. Sedangkan garis kemiskinan yang digunakan BPS menggunakan metode basic need approach atau pendekatan kebutuhan dasar.
Menurut World Bank, tidak ada definisi tunggal kemiskinan yang dapat digunakan untuk semua tujuan, dan inilah alasan mengapa ada perbedaan dalam garis dan metode penghitungan. Untuk pertanyaan-pertanyaan mengenai kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat sebagai tolok ukur dalam program pengentasan kemiskinan. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh World Bank sesuai digunakan untuk memantau kemiskinan global dan membandingkan Indonesia dengan negara lain atau standar global.
Baca Juga : Kemiskinan Turun, Kesenjangan di Perkotaan dan Perdesaan Masih Tinggi
Penulis: Katamso Noto Santoso
Editor: Editor