Fenomena Kafe Tanpa Musik Kian Ramai Imbas Royalti, Apa Kata Publik?

Berdasarkan hasil survei, 80,1% responden tidak keberatan membayar biaya lebih untuk royalti dari musik yang diputar dalam kafe.

Fenomena Kafe Tanpa Musik Kian Ramai Imbas Royalti, Apa Kata Publik? Ilustrasi Kafe | Afta Putta Gunawan/Pexels
Ukuran Fon:

Perseteruan mengenai hak cipta dan sistem royalti musik Indonesia sedang ramai diperbincangkan. Pembahasan ini mulai ramai saat beberapa penyanyi ternama satu per satu mulai terlibat dalam perkara pelanggaran hak cipta dengan sang pencipta lagu (komposer). Dari sinilah, diskusi publik mulai terbentuk dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik kembali mencuat di kalangan masyarakat.

Efeknya, pemahaman publik tentang sistem royalti musik mulai meningkat dan pada akhirnya banyak pihak kafe tidak lagi memutar musik dari Indonesia. Fenomena ini terjadi karena pihak kafe khawatir akan dikenakan royalti atas musik-musik yang diperdengarkannya kepada pelanggan. Berkaitan dengan royalti musik, bagaimana publik memandang fenomena ini?

Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedaikopi) telah merilis data terkait opini publik tentang hak cipta dan manajemen royalti pada musik dan lagu. Survei dilakukan terhadap 1.065 responden pada 27 Maret hingga 4 April 2025. Metodenya menggunakan Computer Assisted Self Interview (CASI) yang disebarkan melalui media sosial.

Kesediaan Membayar Lebih di Kafe untuk Musik | Goodstats

Hasil dari survei menunjukkan bahwa sebanyak 80,1% responden mengaku bersedia membayar biaya lebih untuk musik-musik yang diputar dalam kafe. Responden bersedia membayar biaya khusus di luar biaya makan dan minum jika pencipta lagu dan penyanyi bisa menerima royalti secara adil. Temuan ini tentu patut dipertimbangkan oleh seluruh pemilik usaha kafe dan resto.

Kesediaan mayoritas responden membayar lebih untuk persentase royalti menjadi suatu sinyal positif bagi pengusaha agar tetap bisa memutar musik Indonesia tanpa khawatir akan adanya tambahan beban biaya operasional. Dengan begitu, suasana kafe bisa kembali hidup dan ramai diiringi musik favorit para pelanggan.

Sementara itu, 19,9% lainnya tidak setuju akan adanya biaya tambahan terkait royalti musik yang diputar. Walaupun persentasenya tidak begitu besar, temuan ini tetap perlu diperhatikan untuk dapat dijadikan sebagai dasar penentuan sistem penambahan biaya agar penerapannya kemudian bisa lebih diterima publik secara menyeluruh.

Lalu Sistem Pembayaran Royalti Seperti Apa yang Paling Sesuai?

Salah satu sistem pembayaran royalti yang terkenal di luar negeri adalah sistem “Direct Licensing”. Sistem direct licensing merupakan sistem pembayaran royalti yang dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara, antara pengguna musik (kafe, dan lainnya) dengan pemilik hak (pencipta lagu, produser penerbit musik, dan lain-lain). Lantas, setujukah publik dengan sistem ini?

Opini Tentang Penerapan Sistem Direct Licensing | Goodstats

Hasilnya, kebanyakan responden setuju jika sistem ini diberlakukan untuk dunia musik tanah air. 85,3% responden menyatakan setuju sistem direct licensing diterapkan agar  pemilik hak atas musik bisa mendapatkan keadilan dalam penerimaan royalti. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa para pemilik hak perlu menciptakan sistem pengelolaan mandiri yang memadai. Hal ini terutama dilakukan pada musik yang populer dengan frekuensi pemutaran tinggi agar tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa sistem direct licensing banyak didukung? Masih pada survei yang sama, hal ini berhubungan dengan tingkat kepuasaan publik terhadap kinerja Lembaga Manajemen Kolektif dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pengukuran kepuasan dilakukan dengan rentang skor 0-10, 0 berarti tidak tahu, 1 berarti sangat buruk dan 10 berarti sangat baik.

Hasilnya sebanyak 62,7% responden merasa puas dengan skor rata-rata 6,75 yang bermakna “agak puas”. Walau begitu, tingkat kepuasan yang diraih tidaklah optimal. Capaian ini menggambarkan adanya ruang atau celah ketidakpuasan publik yang pada akhirnya memengaruhi jumlah dukungan terhadap sistem direct licensing.

Baca Juga: Ramai Isu Royalti Musik, Bagaimana Sistem Ideal yang Seharusnya?

Sumber:

https://kedaikopi.co/flipbook/survei-opini-publik-tentang-hak-cipta-dan-manajemen-royalti-pada-musik-dan-lagu/

Penulis: NAUFAL ALBARI
Editor: Editor

Konten Terkait

UMN 2025 Naik 6,5%, Intip Jumlah Kenaikannya Setiap Tahun!

Naik 6,5%, rata-rata UMP Indonesia berada di angka Rp3,3 juta per bulan, dengan Kota Bekasi sebagai wilayah dengan UMK 2025 tertinggi.

Emas Masih Jadi Investasi Populer Publik Indonesia

Investasi emas menjadi pilihan utama masyarakat indonesia karena dinilai aman dan stabil.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook