Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya imunisasi bagi balita semakin meningkat. Meski demikian, masih banyak orang tua yang tidak memberikan imunisasi kepada anaknya dengan berbagai alasan. Padahal, setiap individu berhak memiliki tubuh yang sehat dan kuat, tidak terkecuali balita sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 25.
Dalam pasal tersebut dijelaskan, “setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya.” Ini artinya, seorang balita meskipun belum dapat mengungkapkan keinginan dan belum mampu memutuskan sesuatu atas dirinya, berhak mendapatkan pelayanan yang menunjang kesehatannya.
Pemberian imunisasi dasar lengkap dan Vitamin A merupakan program pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian bayi. Program tersebut berhasil membawa Indonesia menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 26 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2010 menjadi 16,85 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2020 (BPS, 2023b). Begitu juga dengan Angka Kematian Balita, Indonesia berhasil menurunkan dari 32 pada tahun 2017 (BPS, 2023c) menjadi 19,83 pada tahun 2020 (BPS, 2023d).
Pemberian imunisasi gratis untuk anak-anak terdiri dari imunisasi dasar untuk bayi sebelum berusia satu tahun serta imunisasi lanjutan untuk anak usia di bawah dua tahun dan anak usia sekolah dasar. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, dirincikan bahwa imunisasi dasar terdiri atas: hepatitis B, poliomyelitis, tuberculosis, difteri, pertussis, tetanus, pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib), serta campak.
Hasil Susenas Maret 2022 menunjukkan bahwa 63,17% anak umur 12-23 bulan menerima imunisasi dasar lengkap pada tahun 2022 (BPS, 2022a). Ini artinya, masih ada sekitar 36,83% balita yang tidak menerima imunisasi.
Beberapa masyarakat yang tidak memberikan imunisasi kepada anak berusia 0-23 bulan bukan tanpa alasan. Dalam Statistik Kesehatan 2022 yang dikeluarkan BPS menunjukkan, alasan utama orang tua tidak memberikan imunisasi kepada anaknya ialah karena adanya perasaan khawatir dan ragu.
Lebih dari setengah alasan (52,44%) yang melandasi tidak memberikan vaksin kepada balita ialah kekhawatiran terhadap efek samping vaksin imunisasi. Beberapa kasus, efek samping vaksin memang menunjukkan hal yang cukup parah, misalnya demam lebih dari 38,8 derajat Celcius bahkan kejang. Akan tetapi, efek tersebut jarang terjadi. Dalam beberapa sumber menyebutkan, kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) yang umum terjadi ialah rasa nyeri, demam 1-2 hari, kulit gatal dan kemerahan, nafsu makan hilang, serta muntah.
Kekhawatiran tersebut mayoritas dirasakan oleh masyarakat perkotaan. Persentase masyarakat perkotaan yang takut akan efek samping vaksin (KIPI) mencapai 57,90%, sedangkan sisanya atau sekitar 45,37% berasal dari masyarakat desa.
Sementara itu, 34,65% responden beralasan tidak menjalankan vaksin gratis pemerintah karena khawatir dengan kandungan dalam vaksin, selanjutnya 33,77% responden dilandasi oleh rasa ragu terhadap efektivitas imunisasi. Hal ini diikuti oleh 18,17% masyarakat tidak terlalu memahami manfaat imunisasi.
Ini artinya, pemerintah masih banyak memiliki tugas untuk meyakinkan dan mengedukasi masyarakat agar keraguan dan kekhawatiran yang selama ini dirasakan dapat dihilangkan.
Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Editor