Akhir-akhir ini, suhu di Indonesia semakin panas. Bagaimana tidak, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun melaporkan bahwa terjadi kenaikan suhu setiap tahunnya. Akibatnya, masyarakat kesulitan beraktivitas di bawah sinar matahari dalam waktu yang lama.
Kenaikan suhu sebenarnya tidak hanya memengaruhi kenyamanan, tetapi juga konsumsi listrik. Sebuah studi mengungkap bahwa kenaikan suhu satu derajat dapat menyebabkan peningkatan konsumsi listrik sebesar 0,015% per kapita.
Untuk negara atau kota di wilayah tropis dan subtropis seperti Indonesia, cuaca yang lebih panas pun menyebabkan tingginya permintaan akan pendingin ruangan.
Sejalan dengan itu, permintaan terhadap listrik yang merupakan sumber energi utama untuk mengatur suhu dalam ruangan, terutama dengan penggunaan AC ataupun kipas angin, menjadi lebih tinggi. Walau begitu, kenaikan permintaan listrik juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lain.
Lebih lanjut, berikut merupakan pola konsumsi listrik di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Laporan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap bahwa dalam lima tahun terakhir, konsumsi listrik terus meningkat. Di tahun 2023, konsumsi listrik masyarakat telah menyentuh angka 1.285 kilowatt hour (kWh)/kapita. Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi kenaikan penggunaan listrik sebesar 112 kWh/kapita.
Meski begitu, total konsumsi listrik di tahun 2023 masih cukup rendah jika dibandingkan dengan nilai target yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, yakni sebesar 1.336 kWh/kapita.
Di tahun ini, Kementerian ESDM tetapkan target konsumsi listrik sebesar 1.408 kWh/kapita. Untuk memperkuat rencana kenaikan konsumsi ini, penting bagi pemerintah untuk ikut tingkatkan aksesibilitas listrik.
Namun, Kementerian ESDM masih perlu untuk meningkatkan rasio elektrifikasi (RE) di beberapa wilayah. RE merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga yang memiliki sumber penerangan, baik dari listrik PLN maupun listrik non-PLN, dengan total jumlah rumah tangga.
Rasio ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana aksesibilitas listrik telah menjangkau rumah tangga di suatu daerah. Sayangnya, dari 38 wilayah, baru dua wilayah yang memiliki capaian RE hingga 100%.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa keterjangkauan listrik pada sektor rumah tangga di berbagai wilayah masih belum maksimal. Bahkan, masih ada wilayah yang aksesibilitas listriknya terhitung lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya.
Aksesibilitas listrik yang dapat dijangkau oleh masyarakat di Papua Pegunungan menjadi yang terendah, yakni sebesar 93,7%. Tidak berbeda jauh, aksesibilitas listrik di Papua Tengah mencapai 94,14% di tahun 2023.
Kedua wilayah tersebut memiliki rasio yang cukup jauh dibandingkan wilayah, seperti Papua Barat, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan Papua Tengah, yang sudah mencapai angka di atas 98%.
Di kepulauan Nusa Tenggara, aksesbilitas listrik di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya mencapai 94,89%. Angka ini lebih rendah dibandingkan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menyentuh angka 99,99%.
Kondisi ini perlihatkan bahwa pemerintah perlu meningkatkan upaya dalam menyediakan akses listrik yang lebih luas. Namun, dalam upaya meningkatkan akses ini, penting untuk memberikan prioritas pada energi bersih dan berkelanjutan.
Energi terbarukan menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan energi kotor. Mengadopsi energi bersih tidak hanya membantu mengurangi emisi karbon, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Penulis: Intan Shabira
Editor: Editor