Peristiwa belasan aktivis dari lembaga swadaya Greenpeace memblokir dua kapal tanker di pantai Denmark pada 31 Maret 2022 lalu mencegah rombongan supertanker dunia untuk mengimpor bahan bakar fosil dari Rusia sebagai bentuk kecaman terhadap invasi ke Ukraina.
Salah satu kapal yang dicegat oleh Greepeace adalah kapal milik Pertamina berwarna hitam dengan lis merah dan memiliki logo Pertamina di bagian muka, bertuliskan Pertamina Prime dengan huruf kapital berwarna putih di lambung kapal dicoret dengan tulisan "Oil Fuels War" (perang bahan bakar minyak).
Dikutip dari Reuters para aktivis yang lain rela mengambang di laut lepas hanya dengan menggunakan kayak dan membawa spanduk bertuliskan "Stop Fuelling The War" (berhentilah memicu perang), dan "No War" (jangan ada perang).
Mereka menempatkan posisi di antara kapal tanker Seaoath dan kapal tanker Pertamina di dekat Frederikshavn, Denmark, untuk mencegah agar keduanya gagal melakukan transfer minyak.
Bentuk protes ini tidak dengan mudah terelakkan. Pasalnya, secara global Rusia merupakan negara kedua produsen minyak terbesar di dunia pada 2020.
Rusia masuk peringkat 2 negara produsen minyak terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan British Petroleum (BP), Rusia masuk sebagai peringkat kedua sebagai produsen minyak terbesar di dunia. Namun, jumlahnya masih kalah dengan Amerika Serikat yang dapat memproduksi 712,7 juta ton pada 2020.
Jumlah tersebut menurun 5 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebanyak 747,8 juta ton. Walaupun demikian, produksi minyak di Amerika Serikat pada tahun 2020 masih setara dengan 17,1 persen dari total secara global sebesar 4,17 miliar ton.
Rusia berada di urutan kedua dengan produksi minyak sebesar 524,4 juta ton. Posisi 3 didapatkan oleh Arab Saudi yang menghasilkan minyak sebanyak 519,6 juta ton.
Pada peringkat lima besar negara dengan produksi minyak terbesar di dunia diisi oleh Kanada (252,2 juta ton) dan Irak (202 juta ton). Kemudian disusul oleh China (194,8 juta ton), Uni Emirat Arab (165,6 juta ton), dan Brasil (159,2 juta ton).
Maka dari itu ancaman pembatasan ekspor minyak dari Rusia akan berdampak pada segala sektor, baik dalam skala Internasional dan juga Nasional.
Kenaikan harga minyak mentah dunia
Negara-negara Barat berencana melakukan boikot terhadap impor minyak mentah yang berasal dari Rusia. Apabila keadaan tersebut terealisasi, dapat dipastikan harga minyak mentah dunia akan semakin meroket.
Merilis data dari Katadata harga minyak mentah dunia pada perdagangan Jumat 1 April 2022 pukul 09.46 WIB dijual dengan harga 104,58 dolar AS per barel naik 0,12 persen dibandingan dengan perdagangan hari sebelumnya.
Perdagangan minyak jenis Brent, atau yang biasa digunakan untuk bahan pembuatan bensin bergerak di kisaran terendah sebesar 104,01 dolar AS per barel dan tertinggi 105,83 per barel.
Data terbaru dari Investing.com pada 5 April 2022 masih menunjukkan harga yang turun tidak jauh berbeda yakni sebesar 105,03 dolar AS per barel.
Hal ini menjadikan harga minyak dunia menyentuh lecel tertingginya sejak 2008. Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan, larangan impor minyak mentah Rusia akan semakin memperkeruh kondisi pasar global saat ini.
“Lonjakan harga itu akan sulit ditebak. Harga minyak bisa mencapai lebih dari 300 dollar AS per barel,” tambahnya.
Dampak gerakan boikot minyak Rusia bagi Indonesia
Indonesia sendiri memang tidak melakukan impor minyak mentah dari Rusia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebut, Arab Saudi masih menjadi negara pengimpor utama minyak mentah ke Indonesia.
Arab Saudi mengimpor minyak mentah ke Indonesia sebanyak 4.419,8 ton pada 2021, disusul Nigeria dengan total impor 3.917,4 ton. Beberapa negara lain pengimpor minyak mentak ke Indonesia adalah Australia, Angola, Gabon, Aljazair, Malaysia, Azerbaijan, Guinea, dan Amerika Serikat.
Namun, jika memang benar terjadi boikot minyak mentah dari Rusia oleh negara-negara barat, Indonesia harus segera bersiap dengan dampak disektor lainnya.
Mengutip kompas.com, Ekonom Universitas Gajah Mada Eddy Junarsin mengatakan harga minyak mentah dapat melambung tinggi dan dapat memengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.
Melihat juga dengan keadaan di Indonesia yang masih melakukan subsidi minyak tanah, BBM dan LPG kepada masyarakat.
"Asumsi kita minyak per barrel sekitar 63 sampai 65 (dollar AS). Jadi kalau harga per barrel sekarang 120, dan kalau embargo total nanti mungkin naik lagi ke 140 kayak gitu, berarti asumsi kita sudah meleset separuhnya lho," sebut Eddy (9/2/2022).
Pemerintah sebagai pemegang kuasa juga tentu tidak dapat begitu saja mencabut subsidi untuk rakyat. Hal yang paling mungkin dapat dilakukan untuk mencegah perisitiwa tersebut adalah melakukan efisiensi penggunaan minyak fosil.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya