Tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok diumumkan telah resmi mengalami kenaikan sebanyak 10 persen pada 2023 dan 2024 mendatang. Kenaikan tarif CHT tersebut diberlakukan pada golongan sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), dan sigaret kretek pangan (SKP) masing-masing akan berbeda sesuai golongannya.
Selain itu, diketahui bahwa kenaikan tarif cukai juga terjadi pada rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Kenaikan tarif cukai rokok elektrik dan HPTL akan dilakukan lima tahun kedepan. Rata-rata tarif cukai rokok elektrik naik 15 persen dan HPTL naik 6 persen tiap tahunnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan beberapa alasan pemerintah menaikkan tarif cukai. Ini tak lepas dari upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok masyarakat. dengan begitu, kenaikan tarif cukai juga akan mengerek harga rokok.
“Dengan adanya cukai sebagai instrumen fiskal untuk mengendalikan konsumsi, maka penerapan cukai diharapkan meningkatkan harga, yang kemudian mengurangi prevalensi merokok,” jelasnya dalam rapat kerja pada Senin, (12/12) lalu.
Kenaikan tarif cukai rokok dari tahun ke tahun
Tarif cukai rokok mengalami kenaikan tiap tahunnya. Namun, pengecualian terjadi pada tahun 2014 dan 2019. Tarif cukai tidak naik pada 2014 dikarenakan terjadi transisi aturan baru mengenai pajak rokok daerah. Sementara, pada tahun 2019, karena alasan inflasi.
Dalam menetapkan kebijakan cukai rokok, terdapat empat aspek yang menjadi pertimbangan penting. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara.
“Kebijakan mengenai cukai rokok itu selalu menyeimbangkan empat aspek. Ini selalu kita coba balance setiap kali kita membicarakan mengenai kebijakan cukai rokok,” sebutnya dalam Media Gathering Kementerian Keuangan pada Jumat, (4/11) lalu.
Aspek pertimbangan yang pertama ialah pengendalian konsumsi yang berkaitan dengan kesehatan. Aspek kedua adalah aspek produksi yang berkaitan langsung dengan keberlangsungan tenaga kerja. Kebijakan cukai disebut juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.
“Perusahaan rokok yang memproduksi hasil tembakau ini punya kaitan dengan ketenagakerjaan. Apalagi, untuk industri hasil tembakau Indonesia yang bahkan ada segmen dikerjakan dengan tangan,” ujarnya.
Kemudian, aspek yang ketiga adalah terkait penerimaan negara. Kebijakan cukai mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Tercatat, hasil penerimaan negara terhadap cukai mencapai Rp188,8 triliun pada tahun 2021.
Lalu, aspek keempat yaitu terkait pengawasan barang kena cukai (BKC) ilegal. Semakin tinggi cukai rokok, maka akan semakin tinggi pula kemungkinan rokok ilegal beredar yang kini telah mecapai 5,5 persen.
“Jadi, kita melakukan mitigasi berkelanjutan, terus-menerus, atas kebijakan yang punya potensi mendorong hasil tembakau yang sifatnya ilegal,” paparnya.
Berdasarkan laporan statistik dari Kemenkeu, harga rokok di Indonesia mencapai Rp23.361 per bungkus (isi enam) pada tahun 2022. Diprediksi bahwa penurunan produksi rokok pada tahun 2022 salah satunya disebabkan oleh naiknya tarif CHT.
Indeks kemahalan rokok meningkat tipis menjadi 12,2 persen pada tahun 2022. Produksi rokok diproyeksikan bakal makin menurun pada tahun depan, mengingat pemerintah telah menaikkan tarif cukai sebesar 10 persen untuk dua tahun mendatang.
Statistik prevalensi perokok di Indonesia
Kenaikan tarif cukai rokok tidak serta menurunkan tingkat prevalensi perokok. Penurunan memang terlihat pada perokok di atas usia 15 tahun, namun tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2022, prevalensi perokok dewasa hanya turun 0,7 poin menjadi 28,26 persen dari tahun sebelumnya.
Melansir Kompas.com, pengendalian kebiasaan mengkonsumsi rokok tidak bisa diselesaikan dengan hanya menaikkan harga rokok. Menurut Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono, faktor yang mempengaruhi orang untuk memulai/mempertahankan kebiasaan merokok beraneka ragam.
Untuk usia remaja, Drajat menyebut bahwa kebiasaan merokok lebih condong ke arah representasi banyak kawan dan simbol kedewasaan. Ini disebabkan karena kebutuhan dalam mengkonsumsi rokok pada remaja disebabkan oleh keinginan untuk mendapatkan atensi dan pengakuan.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kontrol terhadap kenaikan harga rokok akan bertentangan, sebab negara juga akan menikmati hasil dari cukai. Dengan begitu, akan terbangun pula logika struktural yang beranggapan bahwa pendapatan negara akan naik, dan bukan sekadar hanya untuk menekan angka konsumsi rokok di Indonesia.
“Jadi, sepanjang industri ini masih memproduksi dan negara masih mengizinkan, maka tidak akan selesai. Karena, kepentingan industri untuk memproduksi berapa pun, itu pasti laku,” katanya.
Rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat terhadap rokok
Meskipun harga rokok terus meningkat sehubungan dengan tingginya tarif cukai, namun hal ini ternyata tidak menurunkan konsumsi masyarakat terhadap rokok. Tingginya konsumsi rokok masyarakat terbukti dari total rata-rata pengeluaran konsumsi rokok yang menempati peringkat dua berdasarkan komoditas per Maret 2022.
Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), total rata-rata pengeluaran per kapita berdasarkan kelompok makanan masyarakat Indonesia sebesar Rp665,75 ribu sebulan. Adapun, nilai pengeluaran untuk komoditas rokok mencapai Rp82,18 ribu per kapita sebulan.
Proporsi nilai tersebut mencapai 12,34 persen dari total pengeluaran per kapita/bulan. Ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat terhadap rokok lebih tinggi dibandingkan komoditas lain.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya