Pelaksanaan tanggung jawab sosial organisasi atau perusahaan telah berkembang melampaui sekadar kegiatan operasional, menjadi bagian integral dari strategi bisnis yang berfokus pada penciptaan dampak nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan.
Bagaimana strategi efektif dalam menciptakan dampak tersebut? Hal ini diangkat dalam diskusi Goodtalk Off-air “Beyond Campaign: Creating Real and Sustainable Impact” yang diadakan Good News From Indonesia (GNFI) bersama Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), di Topgolf Jakarta, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (24/1).
Diskusi ini menghadirkan 3 orang narasumber, yang berbagi wawasan dan pengalaman mereka mengenai strategi CSR berbasis dampak, penerapan social design dalam bisnis berkelanjutan, serta pentingnya komunikasi dalam membangun persepsi publik atas peran yang dijalankan organisasi.
CSR Berorientasi SDGs
Kini, pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) bukan lagi sekadar dipandang pemenuhan tanggung jawab, melainkan bagian dari strategi bisnis yang berorientasi pada dampak jangka panjang dan berkelanjutan, manifestasi dari Sustainable Development Goals (SDGs).
SDGs merupakan seperangkat visi yang berisi 17 tujuan dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, yang hanya bisa dicapai melalui upaya pembangunan berkelanjutan. Agenda ini disepakati 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2015, dengan target pencapaian penuh pada tahun 2030.
Di Indonesia, pelaksanaan SDGs diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Berdasarkan metrik pencapaian SDGs yang dikeluarkan PBB, Indonesia menunjukkan progres positif dari tahun ke tahun.
Pada 2014, skor indeks SDGs Indonesia ada di angka 63,58. Angka ini kemudian meningkat 5,85 poin 1 dekade setelahnya, menjadi 69,43 pada 2023. Akselerasi pembangunan terbaik dalam setahun terjadi pada 2017, di mana skornya naik 1,3 poin dari tahun sebelumnya.
Peningkatan skor bukan berarti tantangan telah teratasi sepenuhnya. Masih banyak indikator dan target yang perlu dikejar dalam sisa waktu menuju tahun 2030.
Bila ditinjau lebih jauh, sejumlah indikator memang menunjukkan progres positif, seperti penurunan tingkat kemiskinan dan peningkatan akses terhadap pendidikan. Namun, tantangan tetap ada, terutama pada aspek kesenjangan ekonomi, perubahan iklim, dan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan.
Praktisi CSR dan sustainability, Erick Taufan, menyadari betul bahwa CSR dapat menjadi ‘kendaraan’ bagi perusahaan untuk ikut berkontribusi dalam agenda pencapaian SDGs. Namun, aksi dari satu pihak saja menurutnya tak akan cukup, perlu kolaborasi berbagai aktor agar misi tersebut bisa tercapai.
“Penting untuk kita, korporasi, pemerintah, dan komunitas, berkolaborasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik,” kata Erick.
Pada prinsipnya, menurut Erick, CSR merupakan bentuk tanggung jawab korporasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya bagi masyarakat dan lingkungan melalui kegiatan yang transparan dan beretika.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, terjadi pergeseran paradigma di mana bisnis dipandang langsung sebagai core yang ada di dalam masyarakat dan lingkungan (system value).
Dalam konteks ini, kegiatan bisnis tidak lagi dapat dipisahkan dari konteks sosial dan ekologi di mana mereka beroperasi.
“CSR bukan lagi sekadar bentuk pemenuhan tanggung jawab, tetapi telah terintegrasi menjadi bagian dari strategi bisnis yang lebih luas dan memiliki dampak nyata dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan,” jelas Erick.
Erick yang juga menjabat Ketua Relawan Bakti BUMN ini memaparkan, setidaknya terdapat 5 elemen prioritas yang mesti dipenuhi agar program CSR bisa efektif menciptakan dampak berkelanjutan, yakni adanya komitmen manajemen puncak, kapasitas intelektual dan keterampilan, sistem dan prosedur, kemitraan atau kolaborasi, serta digitalisasi.
Melalui program Relawan Bakti BUMN, Erick menunjukkan implementasi nyata dari strategi tersebut. Program ini tidak hanya memberikan bantuan, tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui pelatihan keterampilan dan pengembangan komunitas.
Sepanjang 2022-2024, Erick memaparkan bahwa program ini telah dilaksanakan sebanyak 6 kali di 49 lokasi, baik di perkotaan maupun daerah 3T, dengan melibatkan 505 orang relawan dari pegawai Kementerian BUMN dan Grup BUMN yang tergerak untuk menciptakan dampak.
Ia menegaskan pentingnya mengelola komunitas sebagai output dari program ini, agar dampak tidak hanya tercipta saat program berlangsung, tapi bisa dirasakan secara berkepanjangan.
"CSR adalah kegiatan berbasis program, keberhasilannya dinilai dari dampak konkret yang dihasilkan, bukan kegiatan filantropi yang semata diukur dari jumlah uang yang dikeluarkan,” tandasnya.
Ciptakan Dampak dengan Inovasi Sosial
Di sisi lain, keberlanjutan juga dapat diwujudkan melalui inovasi sosial berbasis lingkungan. Rengkuh Banyu Mahandaru, inisiator Plepah, membuktikan bahwa model bisnis yang berorientasi pada solusi lingkungan dapat memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat.
Berangkat dari persoalan limbah pertanian dan tingginya angka pencemaran plastik di Indonesia—yang mencapai 9,6 juta ton per tahun, ia merancang solusi dengan pendekatan design thinking untuk menciptakan kemasan berbasis serat alami.
Dengan memanfaatkan limbah pelepah pinang, Plepah mengubah bahan yang sebelumnya terbuang menjadi produk bernilai tambah tinggi, sekaligus mengurangi ketergantungan pada plastik.
“Kami tidak hanya berbicara soal produk, tetapi tentang bagaimana menciptakan solusi lingkungan yang juga menguntungkan masyarakat,” jelas Rengkuh.
Penerapan design thinking dalam Plepah memungkinkan pendekatan yang lebih strategis dalam inovasi. Dimulai dari empati terhadap masalah lingkungan, hingga tahap implementasi, metode ini memastikan bahwa solusi yang dihasilkan benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dapat diterapkan dalam skala luas.
“Kami melakukan design thinking untuk membangun inisiatif, melalui pendekatan strategis yang berfokus pada isu lingkungan, sosial, dan penambahan nilai tambah masyarakat,” tambahnya.
Dampak dari Plepah tak hanya terlihat dari aspek lingkungan, tetapi juga dalam peningkatan kesejahteraan petani. Dengan model bisnis berbasis ekonomi sirkular, para petani mendapatkan sumber pendapatan tambahan sekaligus pengetahuan baru dalam pengelolaan limbah.
“Tujuannya bagi para petani, mereka bisa meningkatkan pendapatan, mendapat kesempatan bekerja, dan knowledge baru,” pungkasnya.
Komunikasi Tetap jadi Kunci
Keberhasilan CSR dan inovasi berkelanjutan tidak akan optimal tanpa komunikasi yang efektif. Glory Oyong, Corporate Communication Director Kompas Gramedia, menegaskan bahwa narasi yang kuat mampu membentuk persepsi publik serta meningkatkan partisipasi dalam inisiatif keberlanjutan.
“Sebaik apapun tujuannya dan juga sebaik apapun outcome-nya, tidak akan tergaungkan dengan maksimal kalau tidak didukung dengan komunikasi yang baik,” ujarnya.
Dalam dunia komunikasi modern, menurut Glory, pendekatan storytelling menjadi elemen krusial dalam membangun koneksi emosional dengan audiens. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyusun narasi yang mengedukasi sekaligus menginspirasi dalam kampanye CSR.
“Dasar dari storytelling sebagai praktisi komunikasi, tidak hanya bercerita, tapi mengajak audiens ikut merasakan,” tambah Glory.
Selain storytelling, efektivitas komunikasi juga ditentukan oleh kesederhanaan narasi, transparansi dialog, dan penggunaan bahasa yang inklusif. Menurutnya, praktik komunikasi yang baik harus mampu menyampaikan pesan kompleks dengan cara yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan.
Perkembangan teknologi digital turut memperkuat strategi komunikasi dalam upaya keberlanjutan. Di era kecerdasan buatan (AI) dan big data, perusahaan dapat lebih mudah menganalisis tren sosial serta menyebarluaskan pesan keberlanjutan dengan lebih luas dan cepat.
“Manusia boleh terus berkreasi, tapi mesin bisa membantu kita lebih cepat dan melakukan penggaungan dari suatu pesan dengan lebih masif. Jadi kita harus bekerja sama dengan teknologi,” tutup Glory.
Diskusi ini menegaskan bahwa penciptaan dampak menjadi bagian integral dalam operasional organisasi, yang bisa diwujudkan dalam berbagai aspek. CSR yang dikelola dengan baik dapat berkontribusi pada pencapaian SDGs, inovasi sosial dapat menjadi solusi bagi tantangan lingkungan, dan komunikasi strategis dapat memperkuat keterlibatan publik.
Dengan komitmen yang tepat, kolaborasi lintas sektor, serta strategi yang terukur, upaya penciptaan dampak bisa terlaksana secara konkret dan berkelanjutan.
Baca Juga: Membangun Ruang Ketiga: Antara Kebutuhan Publik & Strategi Komunikasi Brand
Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Editor