Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto menetapkan target ambisius pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada 2029 mendatang, tepatnya di akhir masa kepemimpinannya.
Meski optimis target ini akan tercapai, tidak sedikit pihak yang mempertanyakan upaya pemerintah dan latar belakang di balik penetapan target yang tinggi ini. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy pernah menyebutkan bahwa banyak tantangan yang akan dihadapi untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% tersebut.
"Ketidakpastian geopolitik geoekonomi global akan memberikan tantangan yang signifikan dalam mencapai target ini. Peningkatan inflasi, gangguan rantai pasokan, dan kebijakan ekonomi yang berorientasi ke dalam di negara-negara ekonomi besar seperti Amerika menambah kompleksitas lebih lanjut," ungkapnya pada acara Public Lecturing Moving Towards 8% Growth for Indonesia, Senin (17/2/2025).
Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa perlu adanya pertumbuhan ekonomi sebesar paling tidak 5,5% pada 2025 untuk bisa mengejar ambisi Prabowo tersebut.
"Harusnya tahun pertama bisa pemerintahan bisa dimulai 5,5% tidak cukup hanya 5,2%. Pemerintahan Megawati itu ditutup dengan 5,13% masuk ke SBY 5,60% kalo tahun ini Prabowo 5,5% berarti ada akselerasi," ujar Direktur Big Data Indef, Eko Listiyanto dalam konferensi pers, Kamis (6/2/2025).
Sejumlah kebijakan mulai diteken pemerintah guna memastikan tercapainya asa ini, salah satunya melalui efisiensi anggaran. Eko menilai bahwa kebijakan efisiensi anggaran ini sudah di jalan yang tepat.
"Dari sisi anggaran sudah mulai efisiensi, tapi kalau berhasil, lumayan untuk bisa mengakselerasi. Batu loncatannya 5,5% tahun ini, tahun depan 6,5 %, baru bicara arahnya ke 8%. Ini bukan magic harus ada upaya akselerasi," tuturnya.
Selain itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menyebutkan bahwa Indonesia butuh upaya lebih untuk bisa meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
"Kalau bicara optimisme harusnya minimum 5,1% harus tercapai, tapi jika tidak tercapai di 2025, harusnya target di atas 5,2%. Tapi gap dari target 5,2% ke 8% itu ekstra effort. Bayangkan, 5,03% ke 5,3% itu effort-nya luar biasa. Jadi bagaimana mau mencapai 8% itu harus extraordinary, tapi tetap harus hati-hati," ujarnya.
Mendapat banyak keraguan dan tanda tanya dari sejumlah pihak, apa benar Indonesia sebenarnya tidak mampu untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi ini? Sedikit melihat beberapa dekade terakhir, Indonesia sebenarnya pernah mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 8%. Bukan hanya sekali atau dua kali, melainkan hingga lima kali.
Pertumbuhan Ekonomi 1968
Pada tahun 1968, dokumen RPJMN menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 10,92%, jadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Kala itu, pertumbuhan ekonomi yang melesat didorong oleh keterbukaan terhadap investor asing, adanya penyederhanaan prosedur perdagangan luar negeri, dan pengendalian inflasi.
Tidak hanya itu, peran Indonesia dalam perdagangan minyak dunia juga membawa berkah tersendiri, di mana ketika itu, Indonesia berperan aktif sebagai salah satu eksportir minyak dunia. Sektor pertambangan dan pertanian mencatatkan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ini.
Pertumbuhan Ekonomi 1973
Berselang 5 tahun setelahnya, ekonomi Indonesia kembali tumbuh 8,1%, setelah sebelumnya stagnan di angka 7% selama 2 tahun terakhir. Periode ini terjadi jelang berakhirnya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 1 pada 1969-1974, dengan sektor pertanian dan industri pertanian yang jadi fokus utama.
Tidak jauh berbeda, perdagangan minyak menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi ini. Tidak hanya itu, perusahaan pertambangan seperti ALCOA, Billton Mij, INCO, Kennecott, hingga US Steel yang mulai masuk ke dalam negeri juga menyumbang tingginya pertumbuhan ekonomi ini.
Kontribusi terbesar datang dari sektor pertambangan dan penggalian yang mencapai 37,3%, menyusul sektor unggulan seperti pertanian.
Pertumbuhan Ekonomi 1977
Pada tahun 1977, ekonomi Indonesia tumbuh mencapai 8,76%, pada masa Repelita II (1969-1979). Kala itu, pemerintah Indonesia membangun beberapa industri strategis berkat dana surplus dari perdagangan minyak bumi. Pemerintah juga membangun industri substitusi impor guna mengurangi ketergantungan dengan negara lain.
Kontribusi sektor pertambangan dan pertanian masih yang tertinggi. Meski begitu, masuknya modal asing terutama pada industri manufaktur mendorong kontribusinya mencapai 9,7% dan pertumbuhan sebesar 13,7%.
Pertumbuhan Ekonomi 1980
Pada 1980, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 9,88%, yang ditopang oleh diversifikasi ekspor. Kayu menjadi produk komoditas utama. Pada masa ini, industrialisasi menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi.
Industri pengolahan berkontribusi 12,5% terhadap pertumbuhan ekonomi. Meski tidak terlalu besar, industri ini mencatatkan pertumbuhan hingga 22,17%, salah satu yang tertinggi dalam sejarah. Sektor pertambangan (28,1%) dan pertanian (23,6%) masih berkontribusi lebih tinggi terhadap PDB Indonesia kala itu.
Pertumbuhan Ekonomi 1995
Terbaru, tepat 3 dekade lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8,22%, yang disinyalir akibat menguatnya industri manufaktur, otomotif, dan jasa dalam negeri. Tidak hanya itu, aliran investasi asing juga semakin meningkat.
Industri pengolahan berkontribusi masif terhadap PDB, mencapai 21,9%. Kontribusi besar dari industri pengolahan terhadap perekonomian masih terus berlanjut hingga saat ini pada kepemimpinan Prabowo.
Kalau 2029?
Buat mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, dibutuhkan upaya dan dobrakan signifikan dari pemerintah. Sudah ada 8 strategi utama yang ditetapkan dalam RPJMN 2025-2029, yakni:
- Peningkatan produktivitas pertanian menuju swasembada pangan
- Industrialisasi/hilirisasi sektor padat karya berorientasi ekspor dan berkelanjutan
- Pariwisata dan ekonomi kreatif
- Ekonomi biru dan ekonomi hijau
- Perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
- Transformasi digital
- Foreign direct investment (FDI) berorientasi ekspor dan investasi non-APBN
- Belanja negara untuk produktivitas melalui program makan bergizi gratis, pembangunan 3 juta rumah, dan lain-lain
Dengan kebijakan strategis di sejumlah sektor andalan, bukan tidak mungkin bahwa target ini akan tercapai. Industri pengolahan, pertanian, perdagangan, hingga konstruksi harus didorong maksimal agar target 8% bisa tercapai. Selain itu, sektor lain seperti transportasi dan pergudangan serta informasi dan komunikasi juga harus tetap dijaga.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8% pada Tahun 2029
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor