Rokok merupakan salah satu produk berbahan dasar tembakau yang digemari oleh beragam kalangan masyarakat. Banyak risiko kesehatan yang ditimbulkan dari zat yang terkandung dalam rokok seperti penyakit gangguan pernafasan dan serangan jantung. Namun, meskipun sudah mengetahui bahaya yang mengintai tersebut, tetap saja kebiasaan merokok masih sulit untuk ditinggalkan.
Apabila dilihat dari segi usia, mayoritas proporsi individu yang merokok berada pada rentang usia produktif. Proporsi individu yang merokok terus meningkat seiring bertambahnya usia, mulai dari kelompok 15-19 tahun hingga usia pertengahan 30-49 tahun. Sedangkan usia 50 tahun ke atas, proporsi individu merokok kian menurun secara bertahap.
Di tengah banyaknya masyarakat yang menjadi perokok, terdapat beberapa provinsi dengan persentase non-perokok yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2025, Bali menempati urutan pertama dengan persentase non-perokok mencapai 80,84%. Hanya 17,62% penduduknya yang merokok setiap ahri dan 1,4% merokok namun tidak rutin.
Posisi selanjutnya diisi oleh DI Yogyakarta (76,63%), Kalimantan Selatan (76,51%), dan Kalimantan Timur (76,49%). Persentase non-perokok yang tinggi di provinsi-provinsi tersebut mencerminkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya merokok semakin meningkat.
Sementara itu, provinsi lain seperti Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, DKI Jakarta, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Barat juga masuk dalam daftar sepuluh besar. Rentang persentase non-perokok di provinsi tersebut berada di atas 73% dengan selisih yang tipis. Angka ini mencerminkan tingginya kesadaran masyarakat di daerah tersebut akan dampak negatif dari mengonsumsi rokok.
Faktor Pendorong dan Dampak Negatif Merokok
Proporsi individu yang merokok mayoritas berada pada rentang usia produktif. Banyaknya tekanan pekerjaan atau beban hidup yang berat menjadi faktor seorang individu memilih merokok untuk mengurangi stresnya. Dengan merokok, seseorang dapat merasakan sensasi rileks sehingga membuat dirinya merasa lebih tenang.
Di samping itu, secara tidak langsung pola makan seorang perokok juga menjadi terganggu. Mereka yang memiliki kebiasaan merokok, cenderung mengabaikan asupan gizi lain yang seharusnya terpenuhi. Ditambah rendahnya tingkat konsumsi sayur dan buah yang pada akhirnya akan memperburuk kecukupan gizinya.
Apabila dilihat berdasarkan kelas ekonomi, semakin tinggi pendapatan individu yang merokok, maka konsumsi kalori dan proteinnya pun semakin tercukupi. Berbeda dengan individu dari masyarakat kelompok miskin yang rata-rata konsumsi kalori dan proteinnya sangat terbatas. Hal ini mencerminkan juga bahwa adanya rokok mampu menggeser pengeluaran lain yang seharusnya lebih diprioritaskan seperti makanan bergizi.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2024, pengeluaran per kapita untuk membeli rokok dalam satu bulannya mencapai Rp94.476. Angka ini menjadi pengeluaran tertinggi ketiga dalam kelompok bahan makanan jadi dan padi-padian. Bahkan rumah tangga dengan kepala keluarga yang merokok memiliki pengeluaran tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala keluarganya tidak merokok.
Oleh karena itu diperlukan upaya berkelanjutan dalam menekan angka perokok aktif. Misalnya melalui kampanye gaya hidup sehat yang digencarkan di sosial media, penegakan aturan kawasan tanpa asap rokok, serta peningkatan akses terhadap layanan konseling berhenti merokok agar tren positif ini dapat meluas secara nasional.
Baca Juga: Persentase Perokok Muda Indonesia Kembali Naik pada 2024
Sumber:
bps.go.id/id/publication/2025/10/10/b37dd4fb6b1727f8cf3c0271/statistik-kesejahteraan-rakyat-2025.html
https://www.bps.go.id/id/publication/2025/02/27/f5354dd7663cbb541b795a9e/cerita-data-statistik-untuk-indonesia---ketimpangan-gizi-akibat-kebiasaan-merokok-di-berbagai-kelas-ekonomi.html
https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-kecanduan-rokok-memegang-5812982/
Penulis: Silmi Hakiki
Editor: Editor