Apa yang Menyebabkan Seseorang Menjadi Korban Cyber-Bullying?

Mengapa seseorang bisa menjadi korban cyber-bullying?

Apa yang Menyebabkan Seseorang Menjadi Korban Cyber-Bullying? Ilustrasi cyberbullying (shutterstock.com/g/myboys-me)

Dengan berkembangnya media sosial, orang-orang dapat mengekspresikan dirinya dengan bebas ke publik, serta berjejaring dengan orang lain tanpa memikirkan jarak maupun waktu. Namun, bagai pisau bermata dua, media sosial juga rentan menjadi sarana terjadinya cyber-bullying.

Cyber-bullying adalah tindakan perundungan yang dilakukan lewat siber atau internet. Menurut laporan U-Report dari UNICEF tahun 2021, sekitar 45 persen remaja berusia 14-24 tahun menjadi korban cyber-bullying.

Bentuk cyber bullying bermacam-macam, yaitu dengan melontarkan kalimat-kalimat mengujar kebencian di kolom komentar, membuat postingan yang mengarah pada kebencian terhadap seseorang, menyebarkan hoax, hingga memberi pesan-pesan yang mengancam atau merendahkan seseorang.

Apa yang menyebabkan seseorang menjadi korban cyber-bullying, atau justru jadi pelaku cyber-bullying? Berikut dijabarkan secara statistik alasan yang paling umum seseorang menjadi korban cyber-bullying.

Mayoritas seseorang melakukan cyber-bullying karena masalah penampilan. Ketika seseorang memiliki penampilan fisik yang tidak sesuai dengan standar kecantikan di lingkungannya, orang tersebut seringkali menjadi korban cyber-bullying.

Faktor terbanyak kedua terjadinya cyber-bullying adalah kecerdasan akademik. Permasalahan akademik umumnya terjadi di tingkat sekolah ataupun kuliah. Disusul dengan faktor eksternal lainnya (misalkan terlibat dalam pertengkaran tertentu), ras, seksualitas, kondisi finansial, dan agama.

Dari faktor-faktor tersebut, kesamaan pola yang terjadi pada kasus cyber-bullying adalah adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sebagai contoh yang lebih pintar melakukan perundungan kepada yang kurang pintar, yang kaya merundung yang miskin, dan sebagainya.

Eunike Sri Tyas Suci selaku Ketua Asosiasi Kesehatan Psikologi Indonesia (2021) berpendapat bahwa seseorang rentan menjadi korban bullying karena sesuatu yang dianggap sebagai kelemahan, atau posisi yang under-privillege dibandingkan pelaku.

Posisi under-privillege tidak hanya diartikan mengenai kondisi finansial, tetapi agama dan ras yang dimiliki. Jika agama atau ras yang dimiliki termasuk dalam golongan minoritas, seseorang dapat lebih rentan menjadi korban.

Situasi ini juga semakin dipersulit karena dunia siber merupakan dunia yang sangat luas. Semua orang dapat saling terhubung satu sama lain. Artinya, jika ada kasus cyber-bullying, pelaku lebih sulit ditemukan karena bisa saja pelaku menggunakan identitas samaran, atau jarak pelaku cukup jauh.

Selain itu, jejak digital yang sulit hilang juga membuat luka batin korban juga lebih sulit untuk pulih karena jejaknya dapat terlihat sewaktu-waktu. Terutama, ketika kasus tersebut menjadi viral dan tersebar dimana-mana. 

Walaupun pelaku cyber-bullying lebih susah dicari, tetapi pemulihan korban tetap menjadi prioritas utama. Maka dari itu, pentingnya membangun support system yang baik bagi korban. Support system tersebut tidak terlepas dari keluarga saja, melainkan teman dekat, lingkungan instansi, maupun peer support group.

Penulis: Kristina Jessica
Editor: Editor

Konten Terkait

Tren Pengeluaran Gen Z: 75% Habiskan Gaji untuk Makanan

Sekitar 75% responden mengalokasikan gaji mereka untuk membeli makanan, sementara sisanya digunakan untuk kebutuhan lainnya.

Survei GoodStats: Masyarakat Nilai Pemerintah Masih Buruk dalam Hadapi Masalah Sampah

Survei GoodStats menunjukkan bahwa sebanyak 49,5% masyarakat menilai kinerja pemerintah dalam menangani masalah sampah masih buruk.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook