Peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahunnya merupakan momentum merayakan emansipasi wanita, berbicara tentang perjuangan perempuan dalam menyuarakan hak-haknya yang masih diabaikan bahkan dirampas.
Dalam hal ini, perlindungan terhadap tindak kekerasan seksual menjadi salah satu hak yang diperjuangkan oleh para perempuan Indonesia. Selangkah lebih maju, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang baru-baru ini disahkan oleh Puan Maharani selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberi angin segar.
UU TPKS kini menjadi payung hukum yang melindungi para korban kekerasan seksual, utamanya kasus ini sering terjadi pada perempuan. UU TPKS memuat tentang pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga penanganan selama proses hukum.
Fenomena kekerasan seksual terutama pada perempuan layaknya diibaratkan seperti gunung es. Hanya segelintir kasus yang terungkap ke ranah publik dan memperoleh penyelesaian yang sepantasnya.
Sisanya, masih banyak kasus-kasus tindak kekerasan seksual yang tidak terungkap dan harus ditelan begitu saja oleh para korban. Tidak sedikit jumlah korban yang harus menerima kenyataan pahit bahwa suara dan hak untuk memperoleh keadilan terbungkam.
Mengutip laporan survei yang dirilis oleh KedaiKOPI bertajuk Kata Perempuan Tentang RUU P-KS, terdapat beberapa alasan di balik perempuan tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya ke publik maupun ranah hukum.
Tiga alasan utama yang mendasari perilaku tersebut ialah takut, merasa tidak perlu melapor, dan pelaku sudah dihakimi massa. Adapun persentasenya masing-masing sebesar 16,7 persen.
Selain itu masih terdapat beberapa alasan lainnya mengapa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya. Alasan-alasan tersebut di antaranya tidak ada orang di sekitar, diancam pelaku, merasa percuma, khawatir tidak ada yang percaya, takut dengan pandangan orang, dan masih ada pula beberapa responden yang tidak memberi alasan.
Sudah seharusnya para korban kekerasan seksual memperoleh perlindungan yang sepantasnya atas kasus yang menimpa dirinya. Tindak kekerasan seksual menimbulkan trauma yang serius terlebih pada mental para korban.
Kerja sama dengan seluruh pihak baik pemerintah, lembaga, maupun masyarakat dibutuhkan untuk mengatasi ancaman tindak kekerasan seksual utamanya pada perempuan yang kerap kali menjadi korban.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya